Minggu, 01 Februari 2009

Mensuri-tauladani hijrah Rasulullah

Oleh : Sayyid Hasan Husen Assagaf

Memang kita bisa rasakan bedanya peristiwa penyambutan tahun baru Masehi dan tahun baru Islam (Hijriah). Tahun baru Islam disambut biasa-biasa saja, jauh dari suasana meriah, tidak seperti tahun baru Masehi yang disambut meriah termasuk oleh masyarakat muslim sendiri. Sebagai tonggak penting perkembangan Islam, seharusnya umat Islam menyambutnya dengan semarak, sembari merenungkan apa yang telah dilakukan dalam kurun waktu setahun berlalu yang terselip di dalamnya banyak catatan baik dan buruk.

Tapi ada yang lebih menonjol dalam memperingati tahun baru Islam (Hijriah), yaitu terletak pada penerapan ubudiyah dan ruhaniyah, serta penghayatan makna peringatan itu sendiri untuk bisa dijadikan sarana instrospeksi diri. Sebaliknya, di awal tahun baru Masehi, pada umumnya yang ditonjolkan hanya aspek yang berkaitan dengan kulit luarnya saja. Banyak manusia yang telah terlalaikan oleh momen pergantian tahun. Waktu penting yang seharusnya dijadikan sarana instrospeksi diri, malah telah disalahgunakan sebagai sikap melampaui batas. Atas nama kebebasan dan kegembiraan, mereka lalaikan nikmat Allah dengan menggelar kemaksiatan dan sikap-sikap yang membawa kehancuran dan amarah Allah.

Dalam bahasa Arab, hijrah bisa diartikan sebagai pindah atau migrasi. Tafsiran hijrah disini diartikan sebagai awal perhitungan kalender Hijriah, sehingga setiap tanggal 1 Muharam ditetapkan sebagi hari besar Islam. Yang pertama kali menetapkan tahun Hijriah ini adalah Khalifah Umar bin Khattab. Hal tersebut oleh beliau dijadikan sebagai sejarah langkah pertama dalam pembentukan masyarakat muslim antara kaum Muhajirin dan Anshar. Orang-orang yang berhijrah dari Makkah karena diusir dari kampung halaman mereka dinamakan Muhajirin, sedangkan penduduk asli Madinah dinamakan Anshar.

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang muhajirin (pendatang) dan anshar (peribumi) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang benar.” (QS. At-Taubah: 100)

Memang, sejak hijrahnya Rasulullah ke Yatsrib, sebuah kota subur, terletak 400 kilometer dari Makkah, Islam lebih memfokuskan pada pembentukan masyarakat muslim yang tidak kampungan dibawah pimpinan Rasulullah. Itulah sebabnya kota Yastrib dirubah namanya menjadi Al-Madinah yang artinya “kota (bukan kampung)” atau lebih tenar lagi disebut kota Rasulullah. Bahkan dalam bahasa Arab, Al-Madinah bisa pula bermakna “peradaban”. Adapun pada hakikatnya adalah sebuah niat atau keinginan keras (‘azam) yang keluar dari hati Rasulullah atas perintah Allah, bahwa beliau bersama sama kaum Muhajirin dan Anshar hendak membentuk masyarakat muslim baru yang bercirikan persaudaraan, keadilan dan rasa kasih sayang terhadap sesama.

Inilah satu nilai yang sangat penting kenapa hijrah dijadikan sebagai titik awal terbitnya fajar baru peradaban umat Islam. Terbitnya fajar baru ini berkat hijrah. Maka hijrah dengan demikian selalu membuat perubahan. Hijrah merupakan usaha dan semangat besar manusia yang ingin merubah masyarakat yang beku dan jumud menjadi manusia yang maju, sempurna dan bersemangat.

Jadi kalau inti dari peringatan tahun baru Hijriah adalah pada soal perubahan dan pembentukan, maka ada baiknya momen pergantian tahun ini kita jadikan sebagai saat saat untuk merubah dan membentuk. Itulah fungsi peringatan tahun baru Islam.

Berbicara tentang perkembangan Islam, tentu tidak bisa lepas dari peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Dakwah Nabi di Makkah pada saat itu banyak mengalami rintangan berupa tantangan dan ancaman dari kaum musyrikin dan kafir Quraisy. Selama kurun waktu 13 tahun sejak Nabi diutus, dakwah Rasulullah tidak mendapat sambutan menggembirakan, bahkan sebaliknya banyak menghadapi lecehan, hinaan, dan ancaman dari kaum musyrikin dan kafir Quraisy.

Karena itu, Rasulullah diperintahkan untuk pindah (hijrah). Akhirnya, beliau dengan sangat terpaksa meninggalkan kota kelahiranya Makkah, berhijrah ke kota Madinah. Dari kecintaan Rasulullah terhadap kota Makkah, di perbatasan kota Makkah beliau menangis dan menengok ke arah Ka’bah. Beliau bersabda,

“Seandainya mereka tidak mengeluarkanku dari Makkah, maka aku tidak akan keluar” (Al-Hadist)

Di Madinah, Nabi dan para sahabat Muhajirin mendapat sambutan hangat oleh kaum Anshar (penduduk asli Madinah). Agama Islam pun mengalami perkembangan amat pesat. Dalam kurun waktu relatif singkat, suara Islam mulai bergema ke seluruh penjuru alam dan Islam pun berkembang meluas ke seluruh pelosok permukaan bumi. Karena itu tidak mengherankan jika peristiwa hijrah merupakan titik pusat bagi perkembangan Islam dan bagi pembentukan masyarakat muslim yang telah dibangun Rasulullah.

Menurut para pakar sejarah, masyarakat muslim, kaum Muhajirin dan Anshar, yang dibangun Rasulullah saw di Madinah merupakan contoh masyarakat ideal yang patut ditiru, penuh kasih sayang, saling bahu-membahu dan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan peribadi. Karena itu, tidak mengherankan jika Khalifah Umar bin Khattab menjadikan peristiwa hijrah sebagai awal perhitungan tahun baru Islam, yang kemudian dikenal dengan tahun baru Hijriah. Pentingnya peristiwa hijrah itu dijelaskan dalam Al-Qur’an yang tersebar di beberapa ayat, di antaranya,

“Dan orang orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr: 9)

Maka dari itu, ada beberapa aspek penting yang bisa diambil sebagai teladan dari hijrahnya Rasulullah ke Madinah:

Pertama, dengan melakukan ishlah pada diri umat Islam di dunia agar bisa melihat ke depan, bisa maju dan melangkah lebih baik. Waktu itu akan terus berjalan meskipun persoalan umat Islam di dunia sekarang ini semakin menumpuk dan terpuruk. Oleh karena itu, menurut orang bijak, mereka yang tidak pandai memangfaatkan waktu dengan baik, akan tergilas oleh roda waktu. Detak jarum jam ibarat pedang, kalau lengah, maka kita akan mati ditebas waktu.

Kedua, dengan membina masyarakat yang tak berkasta atau tidak pandang bulu. Inilah misi utama ajaran Islam yang menciptakan masyarakat yang adil dan tak berkasta. Tepatnya, masyarakat tak berkelas, yakni masyarakat yang tidak membedakan kelas: kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, kulit hitam atau putih pamong peraja atau jelata dan status sosial lainya. Di mata Allah, semua manusia sama dari asal Adam, dan Adam dari asal tanah, tak ada bedanya antara orang Arab dan bukan Arab, hanya tingkat ketakwaanlah yang membedakan antara satu dangan yang lain. Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat 13,

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”

Ketiga, dengan melakukan renungan atas apa yang kita telah perbuat agar bisa bercermin kepada nilai-nilai dan semangat hijrah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Nilai-nilai kehidupan dan bermasyarakat ini telah dicontohkan Rasulullah di saat hijrah beliau ke Madinah, yaitu dengan mempersaudarakan antara kaum Muhajirin (pendatang) dan kaum Anshar (pribumi). Beliau telah membina tali persaudaraan yang kuat dari berbagai segi, bahkan bukan antara kaum Muhajirin dan Anshar saja, tapi beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok Yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya. Nilai-nilai dan semangat semacam inilah yang patut kita jadikan sebagai contoh atau teladan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Keempat, dengan mengambil sikap saling mencintai antara sesama manusia, sebagaimana telah dicontohkan secara nyata oleh kaum Anshar. Sebagai penduduk asli, kaum Anshar, telah menunjukkan sikap cintanya secara tulus tanpa pamrih kepada kaum Muhajirin (pendatang). Rasulullah telah mempersaudarakan antara mereka dan membina kasih sayang, saling menghargai, saling membahu dan mengutamakan kepentingan orang lain. Ini menunjukan betapa tingginya rasa cinta kaum Anshar terhadap saudaranya kaum Muhajirin, sekaligus betapa besarnya pengorbanan Rasulullah dalam membina persaudaraan yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang.

Semoga dengan datangnya tahuh baru Hijriyah ini, kita bisa mengambil sebanyak mungkin manfaat dari nilai-nilai dan semangat hijrahnya Rasulullah ke Madinah yang perlu terus-menerus diterapkan dalam kehidupan nyata dalam memupuk semangat saling mencintai, kerja sama dalam kebajikan, tulus ikhlas dan kasih sayang terhadap sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar