Senin, 09 Februari 2009

Kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi

Pada malam Kamis, 22 Rabiul Awal 1321 H, setelah Salat Maghrib, Habib Ali ra memanggil puteri beliau, Khodijah. Tak berapa lama Khodijah datang dan duduk di hadapan ayahnya. Kemudian, sambil berbaring, Habib Ali bercerita kepada Khodijah:


Wahai Khodijah, suatu hari ayahku mengirim sepucuk surat kepadaku dari Mekah, di dalamnya beliau menulis: Pergilah ke Mekah, kau tak kuizinkan tinggal di Hadhramaut.

Aku segera memberitahu ibuku.

“Kita tidak bisa menentang kehendak ayahmu,” kata ibuku.

Sebenarnya ibuku tidak sanggup berpisah denganku, aku pun merasa berat untuk berpisah dengannya. Jika teringat perjalanan yang harus kulakukan ini, kami menangis.

Jam berganti hari, hari berganti minggu, dan waktu keberangkatanku semakin dekat. Pada saat keberangkatan, ibuku berpesan kepada Ahmad Ali Makarim.

“Tolong perhatikanlah Ali, ia belum pernah melakukan perjalanan jauh.”

“Marhabâ,” jawabnya.

Kami kemudian berangkat meninggalkan Seiwun menuju Mekah. Di tengah perjalanan kami singgah di Syihr. Tidak seorang pun yang mengenal ayahmu. Setiap hari, aku makan siang dan malam hanya berlaukkan sepotong ikan yang kubeli dengan uang satu umsut. Dari Syihr, aku pergi ke Jeddah kemudian ke Mekah, ke tempat ayahku. Beliau sangat senang melihat kedatanganku.

“Kau tak boleh kembali ke Hadhramaut selamanya,” kata ayahku.

Ayah tidak mengizinkan aku ke ribath (pesantren). Aku juga tidak diizinkan untuk bertemu dengan siapa pun yang berasal dari Hadhramaut. Jika aku mendapat surat dari ibuku, ayah selalu merobeknya. Dua setengah tahun aku tinggal bersama ayahku, selama itu pula aku selalu teringat kepada ibuku. Rasanya aku ingin lari dari rumah ayahku.

Ayahku memperoleh berbagai surat dari Hadhramaut: dari Abdullah bin Segaf Maulakhela, Ja’far bin Muhsin dan Ahmad bin Abdullah bin Husin bin Tohir yang bermaksud hendak meminang adikku Aminah. Setiap kali surat itu datang beliau membakarnya.

Suatu hari ayahku memanggil Alwi Assegaf.

“Aku nikahkan engkau dengan puteriku Aminah. Rayakanlah pernikahanmu di Hadhramaut, kemudian bawalah isterimu kemari.”

“Baik..., tapi carikan aku seseorang yang dapat menemaniku. Biarkan Ali pergi bersamaku,” kata Alwi Assegaf.

Aku sesungguhnya tidak memiliki harapan lagi untuk kembali ke Hadhramaut sampai suatu hari ayah memanggilku.

“Wahai Ali, pergilah ke Hadhramaut bersama Alwi Assegaf. Rayakanlah perkawinannya dengan Aminah, kemudian biarkan ia membawa istrinya ke Mekah.”

“Basysyarokallô hu bil khoir, Semoga Allah memberi ayah kebaikan,” jawabku.

Beliau lalu memberiku 20 Qursy dan Alwi Assegaf 50 Qursy. Setelah itu beliau memerintahkan kami untuk berangkat.

Kami segera meninggalkan kota Mekah. Setelah beberapa hari sampailah kami di Syuhuh. Ibuku tidak tahu tentang rencana kedatanganku ini, tapi Aminah bermimpi dan bercerita kepada ibuku, ‘Wahai Ibu, aku bermimpi bertemu kakakku Ali. Aku melihat seorang Badui mendatangiku. Ketika kutanya, ‘Siapakah kau?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah utusan Habib Ali. Beliau sekarang sudah sampai di Syuhuh, dan akan segera sampai kemari.’

Aminah mendapat mimpi yang benar.
Belum selesai ia bercerita, seorang Badui tiba-tiba mengetuk pintu.

“Siapa?” tanya adikku.

“Aku adalah utusan Habib Ali. Beliau sekarang sudah sampai di Syuhuh, dan nanti malam akan tiba di tempat ini.”

Mendengar berita ini, ibuku sangat gembira. Ketika aku masuk kota Seiwun, semua penduduk keluar menyambut kedatanganku. Aku segera menemui ibuku, beliau sangat gembira. Setelah masyarakat kembali ke rumah masing-masing ibuku bertanya, “Apa yang kau bawa?”

“Aku tidak membawa apa-apa selain uang 20 Qursy,” jawabku.

“Jangan khawatir, lihat, rumah ini penuh dengan gandum, beras dan korma,” kata ibuku.

“Ayah mengirim Alwi Assegaf bersamaku. Beliau telah menikahkannya dengan Aminah. Beliau berpesan agar setelah pesta perkawinan, Alwi diizinkan memboyong Aminah ke Mekah.”

“Akulah yang membesarkan Aminah. Dan aku sesungguhnya tidak ingin berpisah dengannya, tapi aku tidak mau menentang kehendak ayahmu,” ucap ibuku.

Aku kemudian merayakan perkawinan Alwi Assegaf dengan Aminah. Setelah perkawinan, Alwi tinggal di Seiwun selama dua atau tiga bulan, lalu ia kembali ke Mekah bersama Aminah.

Dua bulan setelah kepergian Aminah, ibu berkata kepadaku, “Aku ingin kau segera menikah.”

“Wahai ibu, aku tidak memiliki persiapan untuk menikah,” jawabku.

“Jangan khawatir, segalanya akan menjadi mudah.”

Ibuku kemudian menyarankan agar aku menikah dengan ibu Abdullah. Aku pun kemudian segera melamarnya. Semula ayahnya menolak lamaranku, masyarakat pun kemudian mencela calon mertuaku, “Bagaimana kau ini..., kau telah menolak lamaran seorang habib yang alim dan terhormat. Dia pernah belajar di Mekah.”

Akhirnya calon mertuaku berubah pikiran.

“Maafkan aku! Lupakanlah apa yang telah kulakukan kepadamu. Sekarang selamat datang, aku terima lamaranmu.”

Aku dan ibuku kemudian segera berangkat ke Qosam. Di sana aku menikah dengan ibu Abdullah. Pernikahan kami berlangsung sangat sederhana. Penduduk Qosam adalah orang-orang yang cinta kebajikan. Setiap tamu undangan memberi kami dua mud gandum. Kami memotong seekor kambing untuk jamuan makan di malam pernikahan. Namun, pada saat itu Allah mentakdirkan seorang warga Inat meninggal dunia, sehingga sebagian besar undangan melayat ke Inat. Kelebihan makanan: dua piring Haris, kami berikan kepada seorang terhormat di Qosam. Keesokan harinya, kami tidak lagi memiliki sisa makanan untuk makan siang. Ketika kami sedang duduk membuat kopi, tiba-tiba Ba Hannan datang membawa makanan di mangkok. “Ini Haris untuk makan siang kalian,” katanya. Kami pun lalu memakannya.

Setelah tinggal di Qosam selama empat bulan, aku kemudian kembali ke Seiwun. Tak lama setelah itu ibuku berkata, “Aku ingin kau menunaikan ibadah haji dengan cara menghajikan seseorang.” Aku lalu menghajikan Ahmad Sabaya atas biaya keluarganya.
Aku berkunjung ke rumah ayahku sebelum menunaikan ibadah haji. Dan setelah urusan haji selesai, aku meminta izin dari ayahku untuk kembali ke Hadhramaut.

Menjelang bulan haji tahun berikutnya, ibuku berkata, “Tunaikanlah ibadah haji sekali lagi tahun ini.” Aku kemudian mengabarkan keinginan ibuku ini kepada temanku Hasan bin Ahmad Alaydrus. Ia memberiku 80 Qursy.

“Semua pengeluaran, transportasi dan urusanmu dalam perjalanan kutanggung” kata Hasan bin Ahmad Alaydrus.

Aku kemudian berangkat bersama Hasan bin Ahmad dan Said bin Khalifah.
Di tengah perjalanan kami singgah di Syihr.
Di sana kami berjumpa dengan Habib Abubakar bin Abdullah Alatas. Ketika pertama kali bertemu Habib Abubakar jantungku hampir saja copot, kulihat beliau diliputi cahaya.

“Lelaki ini malaikat atau manusia!” kataku dalam hati.

Setiap kali ada yang terlintas di hatiku, Habib Abubakar mengetahui kemudian menjelaskannya. Aku sangat senang dan gemas dengan Habib Abubakar. Rasanya ingin aku menelan beliau. Aku tak ingat pada keluargaku atau yang lain. Malam hari aku tidak dapat tidur, khawatir jika suatu saat nanti aku harus berpisah dengannya. Kemudian aku bertanya di mana Habib Abubakar akan menunaikan salat Subuh. Mereka mengatakan bahwa beliau akan salat Subuh di Mesjid Amr. Sebelum fajar, kami telah berada di Mesjid Amr. Tak lama kemudian Habib Abubakar datang, dan kami pun lalu salat Subuh berjamaah dengan beliau.

Tiga belas hari kami tinggal di Syihr bersama beliau. Selama itu aku membacakan kepadanya kitab Ar-Rasyafât dan beliau menerangkan dan melimpahkan ilmunya kepada kami. Beliau sering melihat aku, tapi setiap kali aku memandangnya, beliau segera memalingkan pandangannya dariku. Aku menjadi semakin suka dan senang kepada beliau. Habib Abubakar juga memberikan perhatian kepada Hasan bin Ahmad dan yang lain. Aku berkata kepada Hasan bin Ahmad, “Katakanlah kepada Habib Abubakar bahwa aku adalah anak Muhammad bin Husein.” Beberapa yang hadir juga berkata kepada Habib Abubakar, “Dia adalah anak Muhammad bin Husein.” “‘Ajîb (Oh, ya)?” jawab beliau. Setiap kali para hadirin mengenalkan aku, Habib Abubakar berkata: ‘Ajîb... (Oh, Ya...?!). Namun beliau akhirnya berkata kepadaku, “Wahai anakku, camkanlah bahwa fath-mu terletak pada kitab Ar-Rasyafât.” Aku pun berkata kepada beliau, “Katanya fath-ku di tanganmu.”

Aku akhirnya dapat mengkhatamkan kitab Ar-Rasyafât di bawah bimbingan beliau.

Setelah itu Habib Abubakar pergi ke Mukalla dan kami pun mengikuti beliau. Di Mukalla, beliau tinggal di rumah Abdurrahman Bahwal. Hasan bin Ahmad dan rombongannya meminta ijazah. Beliau memberi kami semua ijazah. Kemudian beliau menganjurkan kami untuk menziarahi Nabi saw. Beliau berkata, “Kalian akan memperoleh sesuatu dari Nabi saw.”

Hasan bin Ahmad beserta rombongannya kemudian melanjutkan perjalanan, begitu pula aku. Sesungguhnya, aku tidak ingin sedetik pun berpisah dari Habib Abubakar.

Kami akhirnya sampai di Jeddah. Dari Jeddah kami ke Mekah. Di Mekah, aku tinggal di rumah ayahku. Setelah beberapa hari di Mekah, rombongan kami pun berangkat ke Madinah. Di tengah perjalanan, kami singgah di Jeddah. Di kota ini kami bertemu dengan sekelompok Badui yang saleh.
Ketika salat, mereka membaca surat-surat awal juz 30 hingga surat Ad-Dhuha. Suara ratib mereka terdengar sepanjang malam.

Kami dan rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke Madinah. Suara kokok ayam dan penduduk Madinah menyambut kedatangan kami. Dari jauh aku melihat kubah hijau tempat Nabi saw dimakamkan. Pemandu ziarah (muzawwir) telah siap menunggu kami. Ia kemudian memandu kami ziarah ke kubur Al-Habib Muhammad saw dan menuntun kami semua untuk mengucapkan salam. Aku kemudian mengucapkan salam:

Salam sejahtera bagimu, duhai Rasulullah

Salam sejahtera bagimu, duhai kekasih Allah

Aku bersaksi bahwa sesungguhnya engkau

telah menyampaikan risalah dan menunaikan amanah

Pemandu ziarah akhirnya ikut berziarah bersama kami. Karena cahaya dan hudhûr-nya ziarah hampir saja jantungku berhenti berdetak. Pemandu ziarah itu ikut bersamaku ke bâbul malâ-ikah (pintu malaikat). Di sana aku menghadirkan Jibril dan Mikail. Tidak ada seorang pun yang mampu (yaqdir) berada di bâbul malâ-ikah di tengah malam. Kemudian aku mengucapkan salam kepada Sayidina Abubakar, kemudian kepada Sayidina Umar bin Khottôb. Setelah itu aku menziarahi Hababah Fatimah. Ketika duduk di depan makamnya, aku merasa sangat bahagia:

“Ya Hababah, kami adalah anakmu.”

Setelah itu aku pergi.

Malam hari itu aku sama sekali tidak tidur. Setiap hari aku mengkhatamkan Ad-Dalâil sebanyak tujuh kali. Pada malam hari, bersama Muhammad Al-Yamani, aku mengkhatamkan Ad-Dalâil sebanyak tujuh kali di Haram. Setelah itu kami membaca maulid atau Hamaziyah. Pada hari kesepuluh di siang hari, Hasan bin Ahmad Alaydrus tiba-tiba menemuiku.

“Nabi saw memerintahkan aku untuk menemuimu.”

“Aku tidak pantas menerima kemuliaan ini.”

“Kau pantas.”

(Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus kemudian bercerita):

Suatu hari, aku keluar menuju Al-Haram seorang diri. Dalam hati aku berkata, “Aku ingin menghadap Nabi saw, semoga dari beliau muncul karomah untukku.” Sesampainya di sana aku duduk di hadapan jendela kubur. Tiba-tiba dari kubur Nabi saw, muncul cahaya menjulang ke langit. Cahaya itu kemudian menjelma seorang manusia, ia mengucapkan salam kepadaku,

“Assalâmu ‘alaika, ya Hasan.”

“Wa ‘alaikas salâm,” jawabku, “Sesungguhnya engkau ini siapa?”

“Aku adalah kekasihmu Muhammad saw,” kata beliau dengan menunjukkan rasa sukanya kepadaku, “Wahai Hasan.”

“Labbaik.”

“Apakah kau ingin ziarahmu ini diterima?”

“Ya.”

“Apakah kau ingin semua hajatmu dipenuhi?”

“Ya.”

“Jika kau ingin ziarahmu diterima dan semua hajatmu dipenuhi, temuilah Ali bin Muhammad Al-Habsyi, mintalah ijazah darinya, dan ikatlah tali persaudaraan dengannya.”

“Marhabâ,” jawabku.

“Aku tidak pantas, tapi tidak mungkin aku menolak perintah kekasihku saw,” kataku kepada Hasan.

Aku kemudian memberinya ijazah dan mengikat tali persaudaraan dengannya. Hasan bin Ahmad lalu pergi meninggalkanku. Tak lama kemudian, Syeikh ‘Athiyyah datang menemuiku dan berkata, “Tadi aku bertemu dengan kekasihku saw dan beliau berkata kepadaku, ‘Temuilah Ali bin Muhammad Al-Habsyi, katakan kepadanya: Jika Tuhanmu telah memenuhi semua keinginanmu, maka doakanlah aku.”

“Insyâ Allôh, jika Tuhanku memenuhi semua keinginanku, aku akan mendoakanmu,” jawabku.

Aku lalu bangkit menuju makam Nabi saw. Dengan erat kupegang jendela kubur yang terbuat dari besi itu, “Ya Habib Muhammad, engkau telah memberi semuanya, padahal aku adalah anakmu..., keturunanmu. .. Sejelek-jeleknya, maksimal aku adalah seorang yang berdosa, bagaimana mungkin engkau tidak memperhatikan aku?” Tiba-tiba jendela kubur bergetar dan terbuka.

“Ya Habib, aku bertobat, aku masih ingin bertemu dengan ibuku,” kataku sambil bergegas keluar.

Pada kesempatan lain, ketika aku menghadap Nabi saw seorang diri, aku melihat seorang laki-laki dari Maroko sedang menghadap ke jendela dan memanggil Al-Habib saw dan mengucapkan beberapa bait syair. Tanpa kusadari Hasyim bin Syeikh Al-Habsyi telah berdiri memegang jendela dengan erat

“Kau masuk dari mana? Semua pintu telah terkunci!” tanyaku kepadanya.

Karena Hasyim adalah temanku, maka ia berterus terang kepadaku, “Jika mereka telah menutup semua pintu, aku masuk lewat jalan ghaib.” Ia lalu berulang kali membaca ayat berikut:

“Wahai Al-Azîz, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan, dan kami datang membawa barang-barang yang tidak berharga, maka sempurnakanlah sukatan (takaran) untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami, karena sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.”
(QS Yusuf, 12:88)

Tiba-tiba Hasyim tersungkur dan Nabi saw mengulurkan tangannya kepada Hasyim. Hasyim kemudian menciuminya. Aku pun segera bersujud dan masih bisa menyentuh tangan Rasulullah saw.

Tiga hari kemudian aku berziarah ke kubur Sayidina Hamzah bersama Syeikh Muhammad Al-‘Azb. Selepas ziarah Syeikh Muhammad Al-‘Azb bertemu Sayidina Hamzah

“Aku bertemu Sayidina Hamzah dan beliau berkata, ‘Aku telah meminta izin kepada Nabi saw untuk menjamu kalian,’ katanya.

“Sungguh kesempatan yang sangat baik, siapa yang butuh sesuatu, maka utarakanlah.

Perhatikanlah, kita ini adalah orang-orang yang membutuhkan,” kataku.

Suatu hari aku duduk bersama Hasan bin Ahmad.

“Bagaimana jika engkau bukakan diwan Habib Abdullah Al-Haddad secara acak?” katanya. Aku lalu membukanya secara acak dan yang terbuka adalah bait syair berikut:

Dan Ibrahim menghancurkan patung-patung kaumnya dan menyisakan patung yang terbesar agar mereka malu

“Tafsirkanlah bait ini untukku dan tulislah di bawahnya,” kata Hasan.

“Habib Abdullah Al-Haddad menunjukkan bahwa keluarga Alaydrus memiliki kegemaran memimpin. Allah telah membersihkanmu dari kegemaran itu. Engkau adalah seorang Muhammadiy (berperilaku dengan akhlak Rasulullah SAW)” jawabku.

“Coba bukakan sekali lagi, Nabi saw mencintai kita atau tidak?” pintanya.

Dan ternyata yang terbuka bait berikut:

Duhai kekasih yang cantik

Tahukah engkau

aku menderita dan merana

“Coba bukakan sekali lagi, kita akan berkunjung ke Madinah lagi atau tidak?”

Ternyata bait syair yang tertulis adalah:

Semoga yang dirundung rindu ini

dapat mengunjungimu kembali

‘tuk mencium tanah dan atsarnya

“Sekarang aku akan membukanya untuk diriku sendiri,” kataku. Dan ternyata yang terbuka adalah bait berikut:

Arak keyakinan minuman kehormatan bagi kami

Minum dan mabuklah dengan anggur terbaik ini

Itulah minuman para pemimpin kami

Dan sesatlah jalan orang yang suka menyalahi

“Aku akan membuka sekali lagi, apakah kita dapat kembali ke Madinah lagi?” Dan ternyata yang terbuka bait berikut:

Semoga yang dirundung rindu ini

dapat mengunjungimu kembali

‘tuk mencium tanah dan atsarnya

“Aku ingin sesuatu yang benar dan nyata. Yang kita lakukan selama ini hanyalah mencari alamat-alamat baik saja,” kata Hasan, kemudian ia pergi. Sepeninggalnya aku tertidur sejenak, tiba-tiba tampak seorang lelaki berdiri di depan pintu. Cahayanya menjulang ke langit.

“Siapakah engkau?” tanyaku.

“Aku adalah kekasihmu Muhammad saw. Bukankah engkau belum lama berselang membuka diwan Abdullah Al-Haddad?” tanya beliau.

“Benar,” jawabku.

“Yang kau baca benar semua,” kata Nabi saw.

Habib Muhammad Anis bin Alwi bin Ali Al - Habsyi

Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.

Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.

Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang. Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.

Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari.

Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama.

Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan.

Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.

Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.

Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib.

Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.

Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.

Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.

Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.

Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”

Dalam salah satu tausiyah, Habib JIndan mengatakan, “Seperti saat ini kkita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi.

Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.

Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.

Habib AbduLlah Al-hadad ketika menyaksikan kepergian para guru beliau, mengatakan, “Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa mereka duduki telah kosong, Allah telah mengambil milik-Nya Kami sedih dan kami menangis atas kepergian mereka. Ah…andai kematian hanya menimpa orang-orang yang jahat, dan orang-orang yang baik dibiarkan hidup oleh Allah. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup para guruku, meneladani salafushalihin, menempuh jalan leluhurku.”

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin AbduRrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin AbduRrahman meninggal dunia, Habib AbdulKadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyipang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin AbduRrahman.

Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……

Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”

Ada empat hal yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jama’ah yang hadir di majlis beliau, “Pertama, Kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW”…….

Habib Muhammad Anis bin Alwi bin Ali Al - Habsyi

Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.

Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.

Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang. Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.

Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari.

Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama.

Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan.

Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.

Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.

Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib.

Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.

Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.

Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.

Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.

Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”

Dalam salah satu tausiyah, Habib JIndan mengatakan, “Seperti saat ini kkita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi.

Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.

Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.

Habib AbduLlah Al-hadad ketika menyaksikan kepergian para guru beliau, mengatakan, “Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa mereka duduki telah kosong, Allah telah mengambil milik-Nya Kami sedih dan kami menangis atas kepergian mereka. Ah…andai kematian hanya menimpa orang-orang yang jahat, dan orang-orang yang baik dibiarkan hidup oleh Allah. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup para guruku, meneladani salafushalihin, menempuh jalan leluhurku.”

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin AbduRrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin AbduRrahman meninggal dunia, Habib AbdulKadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyipang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin AbduRrahman.

Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……

Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”

Ada empat hal yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jama’ah yang hadir di majlis beliau, “Pertama, Kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW”…….

Keturunan Siti Fathimah ra

Siti Fathimah ra mempunyai tiga orang putra Al Hasan, Al Husin dan Muhsin serta dua orang putri Ummu Kalsum dan Zainab.


Ummu Kalsum ra kawin dengan Sayyidina Umar Ibnul Khattab ra dan Zainab ra kawin dengan Abdulloh bin Ja’far bin Abi Tholib ra. Sedang Muhsin wafat pada usia masih kecil ( kanak-kanak).

Adapun Al Hasan ra dan Al Husin ra, maka dalam buku-buku sejarah dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahlul Bait yang meneruskan keturunan Rosululloh Saw

Diantara keistimewaan atau fadhel Ikhtishos yang didapat oleh Siti Fathimah ra adalah, bahwa keturunannya atau Durriyyahnya itu disebut sebagai Durriyyah Rasulillah Saw atau Durriyyaturrasul.

Hal mana sesuai dengan keterangan Rasulullah saw, bahwa anak-anak Fathimah ra itu bernasab kepada beliau saw. Sehingga berbeda dengan orang-orang lain yang bernasab kepada ayahnya.

Rasulullah Saw bersabda:

كل بنى أنثى فان عصبتهم لآبيهم ما خلا ولد فاطمة
فانى أنا عصبتهم وأنا أبوهم. ( رواه الطبرانى )

“Semua bani Untha (manusia) mempunyai ikatan keturunan keayahnya, kecuali anak-anak Fathimah, maka kepadakulah bersambung ikatan keturunan mereka dan akulah ayah-ayah mereka.”
(HR. At Tobroni)

Imam Suyuti dalam kitab Aljamik As Shohir juz 2 halaman 92 menerangkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:

كل بنى أدم ينتمون الى عصبة الا ولد فاطمة فأنا وليهم
وأنا عصبتهم. ( رواه الطبرانى وأبو يعلى )

“Semua Bani Adam (manusia) mempunyai ikatan keturunan dari ayah, kecuali anak-anak Fathimah, maka akulah ayah mereka dan akulah Asobah mereka (ikatan keturunan mereka).”
(HR. At Tobroni dan Abu Ya’la)

Begitu pula Syech Muhammad Abduh dalam tafsir Al Manar menerangkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:

كل ولد ادم عصبتهم لأبيهم ما خلا ولد فاطمة
فأنى أبوهم وعصبتهم.

“Semua anak Adam (manusia) bernasab (ikatan keturunan) keayahnya, kecuali anak-anak Fathimah, maka akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka.”

Itulah sebabnya, mengapa keturunan Siti Fathimah ra disebut Durriyyaturrasul atau keturunan Rasulullah SAW.

Keistimewaan yang lain dari keturunan Siti Fathimah ra adalah disamping mereka itu disebut sebagai Durriyyaturrasul, mereka itu menurut Rasulullah Saw akan terus bersambung sampai hari kiamat. Dimana semua keturunan menurut Rasulullah Saw akan putus.

Dalam hal ini Rasulullah saw pernah bersabda:

كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة الا سببى ونسبى.
( رواه الطبرانى والحاكم والبيهقى )
“ Semua sebab dan nasab putus pada hari kiamat, kecuali sebab dan nasabku.”
(HR. At Tobroni, Al Hakim dan Al Baihaqi)

Pada suatu ketika, Sayyidina Umar ra datang kepada Imam Ali kw dengan tujuan akan melamar putrinya yang bernama Ummu Kulsum ra.
Setelah Sayyidina Umar ra menyampaikan maksudnya, Imam Ali kw menjawab bahwa anaknya itu masih kecil. Selanjutnya Imam Ali kw menyarankan agar Sayyidina Umar ra melamar putri saudaranya (Ja’far) yang sudah besar.
Mendengar jawaban dan saran tersebut Sayyidina Umar ra menjawab, bahwa dia melamar putrinya, karena dia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:

كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة ما خلا سببى ونسبى.
( رواه الطبرانى )
“ Semua sebab dan nasab terputus pada hari kiamat, kecuali sebab dan nasabku.”
(HR. At tobroni)
Akhirnya lamaran Sayyidina Umar ra tersebut diterima oleh Imam Ali kw dan dari perkawinan mereka tersebut, lahirlah Zeid dan Ruqayyah.
Perkawinan tersebut membuktikan bahwa antara Imam Ali kw / Siti Fathimah ra dengan Sayyidina Umar ra telah terjalin hubungan yang sangat baik. Sebab apabila ada permusuhan antara Imam Ali kw / Siti Fathimah ra dengan Sayyidina Umar ra, pasti lamaran tersebut akan ditolak.

Dengan demikian apa yang sering diungkapkan oleh tokoh-tokoh Syi’ah, bahwa ada permusuhan antara Siti Fathimah ra / Imam Ali kw dengan Sayyidina Umar ra itu tidak benar.
Bahkan dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa, Imam Ali kw dikenal sebagai penasehat Khalifah Umar Ibnul Khattab ra.

Tapi peristiwa perkawinan tersebut, oleh ulama-ulama Syi’ah dibuatkan beberapa cerita diantaranya bahwa Ummu Kulsum ra yang dikawinkan dengan Sayyidina Umar ra tersebut, adalah bukan Ummu Kulsum ra yang asli, tapi dia adalah iblis (jin) yang menyerupai Ummu Kulsum ra.

Dalam cerita yang lain, ulama-ulama Syi’ah itu mengatakan, bahwa Imam Ali kw mengawinakan Ummu Kulsum ra dengan Sayyidina Umar ra itu Tagiyyatan atau tidak kawin betulan.
Bagaimana dikatakan Tagiyyatan, padahal mereka itu sampai mempunyai dua anak, Zeid dan Rugayyah.

Bahkan Sayyidina Umar ra ketika mengawini Ummu Kulsum ra itu berkata kepada orang banyak: “Tidakkah kalian mengucapkan selamat kepadaku, sebab aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda:

ينقطع يوم القيامة كل سبب ونسب الآ سببى ونسبى.
(
رواه الطبرانى )
“Setiap sebab dan nasab terputus pada hari kiamat, kecuali sebab dan nasabku.”
(HR. At Tobroni)

Dengan demikian tidak benar jika ada orang yang mengatakan bahwa keturunan Rasulullah Saw atau Durriyyaturrasul itu sudah putus atau tidak ada lagi.

Karena pendapat tersebut sangat bertentangan dengan keterangan-keterangan Rasulullah saw, yang diakui kebenarannya oleh para ulama dan para Ahli sejarah.

Sebenarnya kami tidak merasa heran dengan adanya orang-orang yang berfaham demikian itu, sebab di zaman Rasulullah Saw dulu, sudah ada orang-orang yang mengatakan semacam itu. Hal mana karena kebencian mereka kepada Rasulullah saw.

Adapun orang-orang sekarang yang berpendapat semacam itu, kami rasa mereka itu tidak karena benci kepada Rasulullah Saw, tapi timbulnya faham tersebut karena minimnya pengetahuan mereka akan sejarah Ahlul Bait atau karena adanya rasa iri hati (hasat) kepada orang-orang yang mendapat nikmat yang tidak ternilai sebagai Dhuriyyaturrasul. Padahal Fadhel Ikhtishos tersebut datangnya dari Allah SWT.

Allah berfirman:

أم يحسدون الناس على ما أتاهم الله من فضله. ( النساء : 54)

“Adakah mereka merasa iri hati terhadap orang-orang yang telah diberi karunia (fadhel) oleh Allah.”
(QS.An Nisa:54)

Mereka tidak sadar bahwa akibat dari faham yang demikian itu justru merugikan dirinya sendiri. Sebab faham tersebut apabila dijabarkan berarti menolak NASH yang disampaikan oleh Allah SWT.

Dibawah ini kami nukilkan fatwa dari seorang ulama besar dan Mufti resmi kerajaan Saudi Arabia yang bermadzab Wahabi, yaitu Al Allamah Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, yang dimuat dalam majalah “AL MADINAH” halaman 9 Nomor 5692, tanggal 7 Muharram 1402 H/ 24 Oktober 1982.

Seorang dari Iraq menanyakan kepada beliau mengenai kebenaran golongan yang mengaku sebagai SAYYID atau sebagai anak cucu keturunan Rasulullah saw.
Jawab Syeikh Abdul Aziz bin Baz : “Orang-orang seperti mereka itu terdapat diberbagai tempat dan negara. Mereka juga dikenal dengan gelar sebagai “SYARIF” . Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang mengetahui, mereka itu berasal dari keturunan Ahlu Baiti Rasulullah saw. Diantara mereka ada yang silsilahnya berasal dari Al Hasan ra dan ada yang berasal dari Al-Husin ra. Ada yang dikenal dengan gelar Sayyid dan ada juga yang dikenal dengan gelar Syarif.”

Hal itu merupakan kenyataan yang diketahui umum di Yaman dan negeri-negeri lain.
Adapun mengenai menghormati mereka, mengakui keutamaan mereka dan memberikan kepada mereka apa yang telah menjadi hak mereka, maka semua itu adalah merupakan perbuatan yang baik.

Dalam sebuah hadist Rosulullah saw berulang-ulang mewanti-wanti: “Kalian kuingatkan kepada Allah akan Ahli Baitku…Kalian kuingatkan kepada Allah akan Ahli Baitku…Kalian kuingatkan kepada Allah akan Ahli Baitku!”
Demikian sebagian dari fatwa Syikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengenai masih adanya keturunan Rosulullah saw.

Pembaca yang kami hormati,
Setelah kami sampaikan fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz, maka dibawah ini kami sampaikan keterangan Al Allamah DR.
Muhammad Abdul Yamani, seorang ahli sejarah Ahlul Bait. Beliau adalah mantan menteri penerangan kerajaan Saudi Arabia. Karya-karya beliau sangat banyak dan dikenal didunia Islam.

Dalam bukunya yang berjudul “Allimu Awladakum Mahabbata Ahlu Baitinnabi ”, halaman 30, cetakan Ke 2, ketika beliau membahas mengenai Sayyid dan syarif, beliau menulis sebagai berikut:

Kesimpulannya ialah, Sayyid dan Syarif adalah keturunan Fathimah Az Zahra ra dan Sayyidina Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah. Tidak ada beda antara kedua gelar dari segi nasab dan kemuliaan hubungan dengan Sayyidina Rosulullah saw. Mereka semua berasal dari keturunan Rasulullah saw dan patut dihargai, dihormati dan dicintai demi mematuhi perintah Allah Azza wa Jalla: “Katakanlah (hai Muhammad), Aku tidak minta upah kepada kalian atas seruanKu, kecuali mencintai kerabat(Ku).”

Patut disebutkan bahwa keturunan yang suci dari Al Hasan dan Al Husin tersebar di sebagian besar Negara Arab. Ditempat mana mereka berada, merekapun mempunyai pemimpin yang menjadi panutan dalam perkara-perkara penting dan biasanya terdiri dari para ulama dan orang-orang terkemuka. Ia bergelar Nagiibul Asyraf dan memelihara silsilah nasab yang mulia demi menjaga kemurnian Ahlil Bait, baik dari jalur kakek mereka Al Hasan ra atau Al Husin ra. Kadang-kadang kita mendapati Ahlul Bait yang berhubungan nasab dengan Al Hasan dan Al Husin secara langsung, tetapi mereka memakai gelar-gelar lain yang disandarkan kepada kakek mereka.

Pada awal abad keempat Hijriah, sebagian cucu-cucu Al Husin ra hijrah dari Basrah Ke Hijaz . Kemudian mereka pergi ke Hadramaut, karena sebelah timur Jazirah Arab saat itu berada dibawah kekuasaan Khawarij dan pengaruh Syiah Qaramithah.

Di Hadramaut Ahlul Bait giat berda’wah untuk membuang madzab - madzab perusak dan supaya mereka kembali kepada Islam

yang benar serta menyebarkan madzab Syafi’I (Ahlussunnah Waljama’ah).
Di sana mereka mendapat dukungan besar yang tentunya juga terlihat dalam berbagai konflik. Merekapun menang, hingga banyak diantara orang-orang yang menyimpang itu bertobat dan kembali ke jalan lurus (benar).

Dan sebagian dari mereka menempuh perjalanan laut menuju pantai-pantai Hindia dengan tujuan berdagang dan menyeru kepada Allah Azza wa Jalla. Ada yang hijrah dari Hindia menuju pulau-pulau di Laut Cina demi tujuan yang sama. Ada pula yang keluar dari Hadramaut secara langsung menuju pulau-pulau itu sambil membawa risalah Islamiah. Mereka ini telah mendapat sukses besar dalam berdakwah. Upaya seperti ini menyebabkan banyak orang masuk Islam dan sebagian menjadi menantu raja-raja dan pangeran-pangeran di pulau-pulau itu. Kemudian terbentuklah sebuah negara Islam.

Bersama penduduk negeri, mereka giat berdakwah. Mereka mempunyai kapal-kapal khusus yang membawa mereka ke berbagai pulau yang berjumlah ribuan. Dengan demikian Islam tersebar di kepulauan Malaysia, Indonesia, Philipina, pulau Jawa dan Sumatra. Sebagian dari para dai ini ada yang turun didaratan Cina dan sampailah Islam ke Burma, Thailan, Kamboja dan banyak negri-negri yang bertetangga.

Menetapnya kaum Muhajirin (imigran) dari Ahlul Bait di negri-negri itu setelah mengadakan hubungan yang baik dan menjalin hubungan yang baik dan menjalin ikatan-ikatan sosial dengan mereka serta bersama-sama menunaikan berbagai kepentingan keagamaan dan keduniaan. Mereka selalu menjaga garis keturunan dan selalu menunjukkan ketinggian akhlak serta kemuliaan sifat-sifatnya sampai hari-hari ini. Demikian pula keadaannya di Hindia, Pakistan dan negri-negri Islam lainnya.

Hijrah Ahlul Bait tidak terbatas ke Hindia dan daratan Cina serta kepulauan-kepulauan di Asia Tenggara, bahkan sebagian dari mereka pergi ke Afrika.

Demikian keterangan DR. Muhammad Abduh Yamani mengenai keberadaan keturunan Siti Fathimah di berbagai Negara .

Di Indonesia keturunan Siti Fathimah atau Dhurriyyaturrosul tersebut banyak . Mereka dikenal dengan sebutan Habaib atau Habib.

Delapan dari sembilan Wali Songo yang dikenal sebagai penyebar agama islam di Jawa adalah kaum Alawiyyin dari Ahlu Baiti Rasulillah atau Durriyyaturrosul .

Karena jasa merekalah , sembilan puluh persen dari rakyat Indonesia sekarang ( kira – kira dua ratus juta ) beragama Islam .

Keberadaan mereka di Indonesia bagaikan penyelamat bangsa . Hal ini sesuai dengan keterangan Rasulullah saw, dimana beliau pernah bersabda:

ألا ان مثل أهل بيتى فيكم مثل سفينة نوح من قومه
من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق. (رواه مسلم)
“Ketahuilah, sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku diantara kalian adalah seperti kapal Nuh diantara kaumnya. Barangsiapa menaikinya , iapun selamat dan siapa tertinggal olehnya, iapun tenggelam,”
( HR. Al Hakim ).

Itulah keutamaan dan keistimewaan yang Allah berikan kepada keturunan Siti Fathimah ra.

ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء والله ذو الفضل العظيم.
( الجمعة : 4 )

“Demikianlah karunia Allah, diberikannya kepada siapa yang dikehendakinya dan Allah mempunyai karunia (fadhel) yang besar.”
(QS. Al Jumuah: 4)

Yang disayangkan apa yang sudah dicapai dan dihasilkan serta ditanam oleh para Salaf Alawiyyin tersebut, akhir-akhir ini telah dinodai oleh ulah oknum-oknum Alawiyyin. Penyebabnya tidak lain dikarenakan jauhnya mereka dari Salaf Alawiyyin, sehingga dengan dengan adanya faham yang bermacam-macam dengan mudah terombang-ambing, dan akibatnya mereka tanpa sadar terjerumus kedalam kesesatan.

Berkembangnya aliran Syi’ah di Indonesia, adalah merupakan salah satu penyebab kerusakan aqidah dan akhlak Alawiyyin .

Kerusakan akhlak yang bersumber dari kerusakan aqidah tersebut dapat dibuktikan dengan kenyataan yang sedang berkembang dimasyarakat sekarang ini. Dimana kalau dahulunya pemuda-pemuda Alawiyyin itu dikenal sangat hormat kepada orang-orang tua mereka, maka kini oknum-oknum Alawiyyin yang sudah teracuni oleh ajaran Syi’ah tersebut, mereka tidak lagi menghormati kepada Salaf mereka. Justru berani mengkritik, mencari-cari kesalahan, bahkan berani menyalahkan Salaf mereka.

Padahal kesuksesan orang-orang tua mereka (Salaf mereka) sudah terbukti, dimana mereka dapat merubah bangsa yang tidak mengenal Islam, menjadi bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Walaupun para sesepuh Alawiyyin itu tidak diikat dengan satu organisasi yang khusus, persatuan mereka sudah berjalan sejak dahulu. Hal mana karena mereka terikat dalam satu aqidah Ahlussunah Waljama’ah.

Tapi dengan adanya aliran Syi’ah, dimana ada oknum-oknum Alawiyyin yang terpengaruh, maka Alawiyyin kini terpecah, dan antara yang mayoritas yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran orang-oarng tuanya (Islam) dengan mereka yang sudah menyimpang (Syi’ah) saling bermusuhan. Bahkan kini oknum-oknum tersebut terisolir dari kehidupan Alawiyyin. Mereka bagaikan penyakit kanker yang sedang berkembang didalam tubuh yang sehat dan apabila dibiarkan akan merusak citra Alawiyyin dimata bangsa Indonesia yang 99,9% beraqidah Ahlussunnah Waljama’ah.

Namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Litbang Al Bayyinaat, ternyata yang terpengauruh pada aliran Syi’ah adalah oknum-oknum Alawiyyin yang sebagian masih dipertanyakan. Disamping itu, oleh karena cara yang ditempuh oleh golongan Syi’ah itu sama seperti cara yang ditempuh oleh golongan Kristen dalam mempengaruhi umat Islam, yaitu dengan uang dan sebagainya, maka beberapa orang Islam juga terpengaruh pada Syi’ah. Dan akhirnya mereka keluar dari agama Islam yang dibawa oleh Wali Songo dan masuk Syi’ah Imamiyyah Itsna Asyaniyyah yang dibawa oleh oknum-oknum yang telah dikader di Iran tersebut.

Semoga mereka diberi hidayah oleh Allah sehingga kembali kejalan yang benar, jalan yang telah ditempuh oleh para Salaf Alawiyyin.

Demikian apa yang dapat kami sampaikan mengenai keturunan Siti Fathimah ra, serta keberadaan mereka sekarang, yang didukung oleh keterangan keterangan dari beberapa Ulama.

Al-Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad

Al-Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad


Baqiyyatus Salaf wa Sayyidul Khalaf, Habib Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad adalah seorang ulama, wali dan da`i dari keturunan Habib ‘Umar bin ‘Alawi al-Haddad yang merupakan adik bongsu kepada Habib Abdullah al-Haddad. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1325H di Qaydun oleh seorang hababah sholehah lagi hafaz al-Quran iaitu Hababah Shofiyyah binti Thohir bin ‘Umar al-Haddad.

Habib Ahmad Masyhur telah mendapat didikan dan asuhan agama sedari kecil lagi. Beliau menimba ilmunya dari ibunya dan lain-lain ulama termasuklah belajar kepada pendiri Rubath Qaydun dua bersaudara iaitu Habib ‘Abdullah bin Thohir al-Haddad dan saudaranya Habib ‘Alwi bin Thohir al-Haddad. Di bawah dua ulama ini, Habib Ahmad mendalami lagi pengetahuan agamanya dalam bidang fiqh, tawhid, tasawwuf, tafsir dan hadis. Dalam usia muda, beliau telah hafal al-Quran dan menguasai berbagai lapangan ilmu agama sehingga diberi kepercayaan untuk mengajar pula di rubath tersebut. Habib Ahmad yang tidak pernah jemu menuntut ilmu turut menangguk ilmu di Rubath Tarim dengan para ulama yang mengajar di sana.

Tatkala berusia awal 20-an, Habib Ahmad telah dibawa oleh gurunya Habib ‘Alwi bin Thohir al-Haddad ke Indonesia. Di sana selain berdakwah, beliau meneruskan pengajian dengan ramai lagi ulama di sana, antaranya dengan Habib ‘Abdullah bin Muhsin al-’Aththas, Habib ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad dan Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar.

Sekitar tahun 1350H, Habib Ahmad berhijrah ke Afrika Timur untuk berdakwah dan menyebar risalah nendanya yang mulia, Junjungan Nabi s.a.w. Beliau menetap di Mombasa, Kenya, dan dari situlah beliau melancarkan dakwahnya ke seluruh pelosok benua Afrika. Pada tahun 1375H, beliau berhijrah pula ke Kampala, Uganda dan menetap di situ sekitar 13 tahun. Habib Ahmad dengan sungguh-sungguh dan gigih telah menghabiskan masanya untuk berdakwah menyeru umat kepada agama yang diredhai sehingga dikatakan sepanjang beliau berada di Afrika, puluhan ribu penduduk di sana, bahkan setengah mengatakan jumlah tersebut menjangkau ratusan ribu, yang memeluk agama Islam ditangannya. Di samping itu beliau turut mengorbankan harta bendanya untuk agama dengan membangunkan banyak masjid dan madrasah dalam rangka dakwahnya di sana.

Hari Rabu, 14 Rajab 1416H bersamaan 6 Disember 1995M, Habib Ahmad telah dipanggil kembali ke rahmatUllah di Jeddah. Setelah disembahyangkan di Jeddah dengan diimamkan oleh almarhum Habib Dr. Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani dengan kehadiran Habib ‘Abdul Qadir as-Saqqaf, jenazahnya yang mulia telah dibawa ke Makkah dan disholatkan sekali lagi di hadapan Ka’bah al-Musyarrafah sebelum dimakamkan di Jannatul Ma’la. Selain meninggalkan ribuan murid, Habib Ahmad turut meninggalkan beberapa karangan antaranya:

1. Miftahul Jannah;
2. Majmu` Fatawa;
3. Syarh Nadzam Sa`id bin Nabhan;
4. ad-Durratun Nafi`ah; dan
5. as-Sabhatuts Tsaminah.

Di samping itu, beliau turut meninggalkan beberapa rangkaian ucapan sholawat yang indah dan penuh asrar dan keberkatan. Antara sholawat gubahan Habib Ahmad adalah satu sholawat yang menyebut penciptaan Junjungan Nabi s.a.w. daripada nur kepunyaan Allah, yang berbunyi:-

Wahai Allah, Tuhan sumber cahaya alam semesta
Limpahkan sholawat atas Junjungan yang Engkau cipta
Dari nur milikMu ciptaan indah tiada tara
Dan ampunilah aku serta sinarilah hatiku yang alpa
Dengan makrifatMu terang bercahaya
Juga dengan makrifatnya akan diriMu yang Maha Mulia
Atas keluarga serta sahabat baginda limpahkanlah sama
Limpahan sholawat dan salam sejahtera

Akhirul kalam, cuplikan ceramah Sidi Yahya Rhodus yang, antara lain, menceritakan bahawa Habib Ahmad Masyhur al-Haddad telah mengIslamkan 300,000 orang selama dakwahnya di Afrika Timur…Allahu ..Allah. Moga Allah sentiasa mencucuri rahmat dan keredhaanNya ke atas Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad serta para leluhurnya. Allahumma aamiin .. al-Fatihah.

(http://bahrusshofa.blogspot.com/search/label/Manaqib)

ntah berapa lama tersisa umurku kini

Langkah demi langkah kian jauh kutinggalkan

Tersimpan dalam catatan yang tak pernah lengah

Untuk dibuka kembali di suatu hari

Lembar demi lembarnya dipertanyakan kepadaku

Wahai nafas yang tersisa untukku

Goreslah langkah terbaik di catatanku

Agar setidaknya ada setitik kebaikan

Dibaris terakhir lembaranku…

Syekh Ibrahim Al - Dasuki

Syekh Ibrahim bin Syekh Abdul-Aziz yang dikenal dengan Abul-Majdi bin Quraisy Addasuqi RA lahir di kota Dasuq-Mesir pada malam terahir bulan Sya’ban 653H yang bertepatan dengan tahun 1255M.

Beliau dilahirkan pada malam Syak, para ulama ragu akan munculnya bulan tsabit yang menunjukkan masuknya bulan Ramadan. Syekh Ibnu Harun Asshufi ketika itu berkata: lihatlah anak yang baru lahir ini apakah dia meminum air susu ibunya? Maka ibunya menjawab, “dari sejak azan subuh, ia berhenti meminum air susu ibunya.”

Dengan demikian Syekh Ibnu Harun mengumumkan bahwa hari itu adalah hari pertama bulan ramadhan dan tanda-tanda kewalian Syekh Ibrahim Addasuqi RA sudah nampak dari sejak kelahiran beliau.

Beliau adalah “Wali Quthub” yang keempat dan yang terahir setelah Syekh Ahmad Arrifa’i RA, Syekh Abdul-Qadir al-Jaelani RA dan Syekh Ahmad al-Badawi RA sebagaimana diyakini ulama tashawuf seperti Syekh Mahmud al-Garbawi dalam kitabnya al-Ayatuzzahirah fi Manaqib al-Awliya’ wal-Aqthab al-Arba’ah, dan Assayyid Abul-Huda M.bin Hasan al-Khalidi Asshayyadi dalam kitabnya Farhatul-Ahbab fi Akhbar al-Arba’ah al-Ahbab dan kitab Qiladatul-Jawahir fi Zikril Gautsirrifa’I wa Atba’ihil-Akabir.

Beliau adalah pendiri Thariqat yang dikenal dengan nama Burhamiyyah atau Dusuqiyyah. Pewaris beliau sebagai syekh Thariqat Dusuqiyyah Muhammadiyyah zaman ini adalah Maulanassyekh Mukhtar Ali Muhammad Addasuqi RA (semoga panjang umur, amin).

Dalam kitab Thabaqat al-Kubara, anda akan menemukan Syekh Abdul-Wahhab Assya’rani RA berbicara tentang riwayat Sayyidi Abul-Hasan Assyazili dalam 12 halaman, Sayyidi Ahmad Arrifa’i dalam 7 halaman, Sayyidi Abdul-Qadir Al-Jailani RA dalam 9 halaman dan Sayyidi Ahmad al-Badawi RA dalam 7 halaman saja. Sedangkan Sayyidi Ibrahim Addusuqi RA 25 halaman…!

Syekh Abdul Wahhab Assya’rani RA berkata: Tuanku/Sayyidi Ibrahim Addusuqi RA memiliki keramat yang banyak, hal-hal yang luar biasa, menguasai rahasia-rahasia malakut, sejak lahir sudah puasa, menguasai bahasa Ajami; Siryani; Ibrani; zinji; seluruh bahasa burung, binatang dan makhluk-makhluk buas…

Ada banyak kitab yang berbicara tentang kekeramatan dan riwayat hidup beliau, di antaranya adalah:
1) Farhatul Ahbab Fi Akhbar al-Arba’ah al-Ahbab, oleh al-Khalidi Asshayyadi.
2) Syaikhul-Islam Addasuqi Quthbussyari’ah wal-Haqiqah, oleh Rajab Atthayyib al-Ja’fari.
3) Alamul-Aqthab al-Haqiqi Sayyidi Ibrahim Addasuqi, oleh Abdurrazzaq al-King.
4) Lisanutta’rif bihalil-Wali Assyarif Sayyidi Ibrahim Addusuqi RA, oleh Syekh Ahmad bin Jalaluddin al-Karki RA.
5) Al-Ayatuzzahirah fi Manaqib al-Awliya’ wal-Aqthab al-Arba’ah, oleh Syekh Mahmud al-Garbawi.
6) Abul-Ainain Addasuqi, oleh Abdul-Al Kuhail.
7) Qiladatul-Jawahir fi Zikril-Gautsi wa Atba’ihil-Akabir, oleh Syekh Abul-Huda al-Khalidi Asshayyadi.
8) Jami’ karamat al-Awliya’, oleh Syekh Yusuf Annabhani.
9) Al-Arif Billahi Sayyidi Ibrahim Addasuqi, oleh Sa’ad al-Qadhi.
10) Biharul-Wilayah al-Muhammadiyyah Fi Manaqib A’lam Asshufiyyah, oleh DR.Jaudah M.Abul-Yazid.
11) Nailul-Khairat al-Malmusah Biziyarati Ahlilbaiti Wasshalihin bi Mishr al-Mahrusah, oleh DR Sa’id abul-As’ad.
12) Atthabaqat al-Kubra, oleh Syekh Abdul-Wahhab Assya’rani.
13) dan lain-lain

Syekh Ibrahim Addasuqi RA bermazhab Syafi’I dan terkenal dengan beberapa julukan seperti Abul-Ainaini dan Burhanul-Millati Waddin. Beliau wafat pada tahun 606H/1296M yang ketika itu beliau berumur 63 tahun dan dimakamkan di kota Dusuq-Mesir.

Beliau pernah berkata:

ولا تنتهي الدنيا ولا أيامها # حتى تعم المشرقين طريقتي


Yang artinya kira-kira: “dunia ini tidak akan berahir sebelum Tarekatku tersebar di penjuru dunia”

Ahlil Bait

PEMBAHASAN PERTAMA

Para ulama menerangkan bahawa Ahlul Bait telah disebut secara khusus dalam Al-Qur'an dalam beberapa ayat, yang mana tiap-tiap ayat yang tersebut mempunyai tujuan-tujuan tertentu, di antaranya; penyucian, penghormatan terhadap mereka, peringatan kepada membencinya atau menghubungkan nasab dengan tidak benar dan menerangkan bahawa anak-anak lelaki dari puteri Rasulullah s.a.w. (sallallahualaihi waalihi wassalam) dinasabkan kepada beliau dan bukan kepada yang lain. Secara ringkas pembahasan ini akan menerangkan tiga ayat berserta tujuan-tujuannya yang memadai bagi memperjelaskan maksud di atas.

AYAT PERTAMA

Firman Allah Ta'ala dalam Surat Ali Imran:61:
"Maka siapa yang membantah engkau tentang kebenaran ini, sesudah datang kepadamu pengetahuan, katakanlah (kepadanya): Mari! Biarlah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian itu kita berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah: Kita minta supaya kutukan Allah turun atas orang-orang yang dusta".

Ibnu Kathir menerangkan tentang tafsir ayat di atas iaitu tatkala datang rombongan orang-orang nasrani dari Najran yang ingin berhujah dengan Rasulullah s.a.w. tentang apa yang dibawanya, maka Rasulullah s.a.w. mengajak mereka bermubahalah.

Jabir r.a. berkata: Telah datang kepada Nabi s.a.w. Aqib dan Tayyib, lalu beliau mengajak mereka mulaanah (meminta diturunkan laknat ke atas yang salah), lalu keduanya berjanji akan melakukannya pada esok hari, maka berangkatlah Rasulullah s.a.w. pada pagi hari dengan membawa Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Hussin, kemudian diutusnya seorang untuk menemui keduanya namun mereka menolak seruannya dan menyatakan padanya ketidaksanggupan mereka. Lalu bersabda Rasulullah s.a.w.: "Demi Allah yang telah mengutusku dengan kebenaran seandainya mereka berkata "ya" (tidak menolak) nescaya Allah akan menurunkan ke atas mereka api yang memenuhi lembah itu".

Jabir berkata, "Kepada mereka diturunkan ayat (Mari!, biarlah kami panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, diri kami dan diri kamu)". Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan Al-Hakim dalam Mustadrak dan diriwayatkan juga oleh At-Tayalisi dari Sha'bi secara mursal. Ibnu Kathir berkata "Itulah yang paling benar".

Maka nyatalah bahawa ayat dan hadis ini menjadi dalil bahawa Al-Hasan dan Al-Hussin r.a. adalah keturunan atau zuriat Nabi s.a.w. dan menempatkan Al-Imam Ali karramallahu wajhah (k.w.) pada suatu martabat dan kedudukan yang tinggi yang tidak diragukan oleh orang yang mempunyai akal sehingga Nabi menjadikan beliau sebagai dirinya dalam firman Allah Ta'ala: ".....diri kami dan diri kamu".

AYAT KEDUA

Firman Allah Ta'ala dalam surat Al-Syura:23: "Katakanlah (Muhammad) untuk itu Aku tiada meminta upah (bayaran) kepada kamu, (yang Kuminta) hanya kasih sayang terhadap keluarga terdekat".

Pengertian kalimat AL-QURBA (keluarga dekat/kerabat) dalam ayat ini telah ditafsirkan dalam beberapa hadis seperti berikut;

  1. Muslim meriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w. berkhutbah di Ghadir Khom: "Sesungguhnya aku meninggalkan di tengah-tengah kamu dua perkara yang berat (As-Thaqalain), Kitab Allah dan Itrahku (keturunanku), dan bahawa keduanya tidak akan berpisah sehingga kelak datang kepadaku di Telaga Haudh."
  2. Muslim Ahmad dan Nasa'i telah meriwayatkan dari Zaid Bin Arqam r.a. bahawa katanya: Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. sedang berdiri menyampaikan khutbahnya di hadapan kami di suatu paya bernama Khom yang terletak di antara Mekah dan Madinah, setelah memuji Allah dan memberi peringatan dan nasihat, kemudian baginda bersabda: "Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku adalah basyar (manusia) dan aku tidak lama lagi akan menyahut seruan tuhanku, maka aku tinggalkan di tengah-tengah kamu dua perkara yang berat (As-Thaqalain); pertama kitab Allah Ta'ala yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, maka ambillah kitab Allah itu dan berpeganglah padanya". Lalu beliau menganjurkan supaya memberi perhatian kepada kitab Allah dan menggemarinya kemudian sabdanya: "Dan Ahli Baitku, aku peringatkan kamu terhadap Ahli Baitku, aku peringatkan kamu terhadap Ahli Baitku".

Lalu Husain bertanya, "Siapakah gerangan Ahli Bait baginda wahai Zaid? Bukankah isteri-isteri baginda adalah Ahli Baitnya?" Jawab beliau, "Isteri-isterinya bukan dari Ahli Baitnya, tetapi Ahli Baitnya ialah mereka yang haram menerima sedekah (zakat) selepasnya. Siapa mereka, tanya mereka?" Jawabnya: "Mereka itu adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Jaafar dan keluarga Al-Abbas r.a."

Al-Hafiz Ibnu Kathir berkata tentang tafsiran ayat ini: "Dan kami tidak mengingkari adanya wasiat terhadap Ahlul Bait dan suruhan berbuat baik kepada mereka, menghormati dan memuliakannya, kerana mereka itu berasal dari zuriat yang suci dari keluarga yang paling suci dan datuk yang paling mulia di atas permukaan bumi dari segala ketinggian, kehormatan dan keturunan".

AYAT KETIGA

Firman Allah Ta'ala dalam surat Al-Ahzab:33: "Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kekotoran dari kamu, Ahlul Bait dan hendak mensucikan kamu dengan sesuci-sucinya".

Abul Hasan Ali Bin Ahmad Al-Wahidi An-Nisaburi telah menyebutkan dalam kitabnya Asbabun-Nuzul mengenai ayat di atas, bahawa ia diturunkan untuk lima orang: Rasulullah s.a.w., Ali Bin Abi Talib, Fatimah Az-Zahra', Al-Hasan dan Al-Husain r.a. (m.s. 66).

Al-Hafiz Ibnu Kathir dalam menafsirkan ayat di atas menyebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan Bazzar dari Abi Hatim dari Awwam Bin Haushab r.a. dari sepupunya, katanya, "Aku telah masuk bersama ayahku ke rumah Aisyah r.a. maka aku menanyakan padanya tentang Ali r.a." Aisyah menjawab, "Engkau menanyakan padaku tentang orang yang paling dicintai oleh Rasulullah s.a.w. sehingga ia dikahwinkan dengan puterinya yang paling dicintainya, aku pernah melihat Rasulullah s.a.w. mendoakan Ali, Fatimah, Hasan dan Husin r.a. lalu menutup di atas mereka dengan suatu pakaian seraya sabdanya: Ya Allah mereka ini adalah Ahli Baitku maka hindarkanlah mereka dari dosa dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya", kemudian aku mendekati mereka sambil menanyakan: "Ya Rasulullah adakah aku termasuk dari ahlibaitmu?" Baginda s.a.w. menjawab: "Pergilah kamu, sesungguhnya kamu berada pada jalan yang baik". Riwayat yang sama dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dari Wathilah Bin Al-Asga' dan berkata bahawa hadis ini sahih asnadnya.

Hadis Ummu Salamah, bahawa Rasulullah s.a.w. berkata pada Fatimah: "Bawalah padaku suamimu dan dua orang anakmu", maka datanglah Fatimah bersama mereka lalu Rasulullah s.a.w. menutupkan di atas mereka dengan kisa' (pakaian) milikku yang kuperoleh dari Khaibar kemudian baginda mengangkat kedua tangannya dan berdoa: "Ya Allah sesungguhnya mereka ini adalah keluarga Muhammad maka kurniakan selawat dan keberkatanmu kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah mengurniakan kepada keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Agung". lalu kuangkat kisa' itu supaya aku dapat masuk bersama mereka namun ditariknya oleh Rasulullah s.a.w. dari tanganku dan berkata: "Sesungguhnya kamu berada di atas jalan kebaikan". Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan Ibnu Asakir.

Al-Hakim dan Ibnu Syaibah juga meriwayatkan dari Ummu Salamah dengan lafaz yang hampir sama dengan riwayat di atas.

Berkata An-Nawawi dalam kitab Majmuk menukil dari Al-Azhari dan yang lain bahawa mereka itu adalah itrahnya yang dinasabkan kepada beliau s.a.w. Mereka itu ialah anak-anak Fatimah r.a. dan keturunannya sepanjang zaman

PEMBAHASAN KEDUA

PENGERTIAN AALI (KELUARGA) DARI SEGI BAHASA DAN ISTILAH

DEFINASI

  1. Di antara beberapa makna Aali dalam bahasa adalah pengikut-pengikutnya, misalnya dikatakan Aali seorang lelaki yakni pengikut-pengikut dan wali-walinya, biasanya dipergunakan untuk sesuatu yang mempunyai kemuliaan, tidak boleh dikatakan Aali tukang sepatu tetapi ahli (keluarga) tukang sepatu .

Terkadang kata Ahli digunakan sebagai persamaan kata Aali tetapi kata Ahli menjadi lebih khusus apabila digunakan untuk pengertian isteri, seperti firman Allah Ta'ala yang ditujukan kepada isteri Nabi Ibrahim a.s. tatkala ia berkata: "Adakah aku akan melahirkan anak, sedang aku adalah seorang perempuan yang sangat tua?" , "Rahmat Allah dan keberkatan-Nya adalah untuk kami, hai penghuni rumah" , dan sabda Rasulullah s.a.w.: "Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya, akulah orang yang paling baik terhadap keluargaku (isteri-isterinya)."

PENGERTIAN AALI DALAM ISTILAH FIKAH

2. Para ahli fikah tidak sepakat dalam memberikan makna Aali. Kerana itu berbeza pula mereka dalam memberi hukum. Hanafi, Maliki dan Hambali telah mengatakan bahawa aali dan Ahli adalah sama maknanya, namun masing-masing di antara mereka memberi ketentuan yang berlainan.

Hanafi berpendapat bahawa Ahli Bait seseorang, Aali dan jenisnya adalah satu, iaitu setiap orang yang mempunyai pertalian nasab, sekalipun kepada ayahnya yang paling jauh (moyang) dalam Islam, iaitu orang yang hidup pada zaman Islam, sama ada ia masuk Islam atau tidak. Dan ada pula yang mensyaratkan Islamnya ayah atau datuk yang paling tinggi. Maka semua anak yang dinasabkan kepada ayah ini termasuk lelaki, perempuan dan kanak-kanak adalah ahli keluarganya.

Maliki berpendapat bahawa kata Aali adalah orang yang mendapat asobah dan setiap orang yang mendapat asobah dan setiap orang perempuan jika ia bergabung dengan lelaki maka ia menjadi asobah.

Hambali berpendapat bahawa Aali seseorang dan Ahli Baitnya, kaumnya, keturunan dan kerabatnya adalah sama maknanya.

Syafi'e berpendapat bahawa Aali seseorang adalah kerabat dan keluarga yang ditanggung nafkahnya, sedangkan Ahli Baitnya adalah kerabat dan isterinya.

Aali juga mempunyai pengertian yang khas dalam kalimat selawat kepada Nabi s.a.w. Pendapat terbanyak mengatakan bahawa yang dimaksudkan dengan mereka itu adalah kerabat baginda s.a.w. yang diharamkan kepada mereka menerima sedekah dan ada pula yang mengatakan yakni semua umatnya yang menerima seruan baginda s.a.w. Malik cenderung pada pendapat ini dan juga Al-Azhari, sedangkan Baihaqi menolak pendapat ini.

Pendapat yang benar dalam mazhab Syafi'e bahawa mereka itu adalah Bani Hashim dan Bani Abdul Muttalib, begitulah ditegaskan oleh Syafi'e dalam Harmalah yang dikutip dari Al-Azhari dan Baihaqi, kemudian diputuskan oleh majoriti sahabat-sahabat baginda.

Sebahagian berpendapat bahawa pengertian Aali adalah setiap orang mukmin yang bertakwa dengan mengambil dalil dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurmuzah Nafe' Assulmi dari Anas dari Nabi s.a.w., bahawasanya beliau ditanya: "Siapakah Aali Muhammad itu?" Baginda menjawab: "Setiap mukmin yang bertakwa", tetapi Baihaqi mengatakan bahawa hadis ini daif (lemah) dan tidak boleh dijadikan hujah, kerana Abu Hurmuzah didustakan oleh Yahya Bin Ma'in dan didaifkan oleh Ahmad dan selainnya dari para hafiz.

Kemudian Syafi'e, Baihaqi dan sahabat-sahabat dari mazhab Syafi'e berpendapat bahawa Aali itu adalah Bani Hashim dan Bani Abdul Muttalib kerana sabda Rasulullah s.a.w.: "Sesungguh sedekah diharamkan kepada Muhammad dan juga kepada Aali Muhammad", diriwayatkan oleh Muslim.

Saya berpendapat seandainya Aali itu setiap orang mukmin yang bertakwa nescaya zakat tidak dibolehkan dan diharamkan kepada mereka sebagaimana diharamkan kepada Bani Hashim dan Bani Abdul Muttalib, tetapi tidak pernah ada orang berpendapat demikian.

Kedua, bahawa itrah (anak keturunan) yang dinasabkan kepada baginda s.a.w. mereka itu adalah anak-anak dan keturunan Fatimah r.a., demikian disebutkan oleh Azhari dan lain-lain.

PEMBAHASAN KETIGA

BANTAHAN DAN PENJELASAN TERHADAP RENCANA TANTAWI

Pada tarikh 20/12/1406 H bersamaan 5/9/1985 M telah terbit surat khabar As-Syarqul-Awsat dengan nombor edisinya 2483 yang memuatkan sebuah makalah/rencana yang ditulis oleh Sheikh Ali Tantawi dengan mengambil tajuk "Peringatan-peringatan Sheikh At-Tantawi". Di antara kandungan rencana itu adalah seperti berikut:

"Dan orang-orang Hadramaut berperingkat-peringkat, di antara mereka terdapat Alawiyyun yang menamakan dirinya sebagai Sadah yang mulia dan ada pula yang tidak mengaku demikian, padahal nilai seseorang dalam agama Islam diukur dengan ilmu dan takwanya bukan dengan sebab ayah atau datuk-datuknya. Sedangkan orang yang mulia itu adalah orang yang bertakwa dan orang yang agung itu adalah orang yang baik dalam perbuatan dan perilakunya, kemudian kebanyakan nasab-nasab yang dikatakan bersambung dengan Rasulullah s.a.w. tidak dapat dibuktikan dengan dipertanggungjawabkan melainkan semata-mata adalah anggapan orang-orang yang mempunyai nasab itu dan saya tidak menuduh nasab seseorang tetapi saya ingin menerangkan suatu kenyataan yang konkrit.....".

Beliau tidak hanya mengemukakannya dalam suratkhabar bahkan mengulangi perkataan yang sama dalam suatu siaran radio ketika ditanya tentang syarat-syarat kafaah dalam nasab dan hukum nikah dengan tujuan hendak menyebarluaskan pandangannya yang kontroversial (menimbulkan fitnah), padahal akan lebih baik jika ia menjawab kepada penaya itu dengan pendapat para ulama imam-imam yang kenamaan, Sebagai contoh Abu Hanifah, Ahmad dan Syafi'e r.a. yang menjadikannya sebagai syarat dalam nikah, sementara Malik tidak mensyaratkannya, itulah pendapat para ulama.

Kemudian Sheikh Ali Tantawi mengulangi kata-kata yang sama dalam peringatannya pada bahagian keenam muka surat 133 baris ke-18. Oleh kerana itu kami putuskan untuk mencetak risalah ini kerana kegigihan beliau dalam menyebarkan makalahnya itu.

Berkata Sheikh, "Sesungguhnya orang-orang Hadramaut mempunyai peringkat-peringkat ,di antara mereka terdapat Alawiyyun yang mengaku sebagai bangsawan yang mulia". Sukacita kami menerangkan kepada Syeikh Tantawi sekalipun beliau tahu akan hal ini memandangkan ilmu beliau yang luas dan peradabannya yang tinggi bahawa peringkat sebagaimana ia maksudkan, bukan pada tempatnya, kerana pengertian tingkatan ialah suatu perbezaan antara tingkatan masyarakat dari segi kemasyarakatan, seperti terdapat masyarakat tingkat buruh dan kapitalis/pemodal dan lain-lain. Adapun yang ada pada orang-orang Hadramaut adalah kesukuan atau marga, sehingga seorang Alawi dapat tergolong dalam mana-mana tingkatan dari tiga kelompok di atas, sementara ia tidak dapat digolongkan kepada kabilah selain dari kabilahnya dan tidak pula pada marga selain marganya.

Sebenarnya Syeikh sendiri mengetahui bahawa orang-orang Arab sejak permulaan Islam mereka mengambil berat akan nasab keturunan mereka, sehingga Rasulullah s.a.w. juga menyebutkan nasab dirinya dan Khalifah Abu Bakar As-Siddiq r.a. dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan tentang nasab, hingga digelar sebagai pakar nasab Arab kemudian terdapat puluhan kitab yang dikarang mengenai ilmu nasab dan ratusan kitab mengenai nasab dan salasilah keluarga Rasulullah s.a.w., juga telah disusun yang mana dapat dilihat sebahagian kecil daripadanya dalam pembahasan ini sebagai misal satu-satunya dan tidak pula merangkumi keseluruhannya.

Semua orang tahu bahawa nasab keturunan keluarga Rasulullah s.a.w. terutama Sadah Alawi yang akan diterangkan susunan nasabnya dalam pembahasan ini telah terbukti beritanya dengan luas dan mutawatir , tersusun dari ayah hingga hingga ke datuk dari zaman kita hingga ke zaman Rasulullah s.a.w. sedangkan orang yang mengingkari berita mutawatir jelas hukumnya dalam Islam.

Sesungguhnya umat Islam adalah satu-satunya umat yang mempunyai pertalian riwayat dibandingkan dengan umat-umat lain, misalnya Al-Qur'an disampaikan kepada kami melalui pertalian riwayat dan begitu juga sejarah dan nasab keturunan serta tempat-tempat peperangan dan sirah. Jika kita biarkan setiap orang melepaskan kata-katanya, tentang perkara-perkara yang sudah terbukti kebenarannya, maka kesudahannya akan timbul tuduhan dusta banyak perkara dari hukum-hukum syarak dan peristiwa-peristiwa sejarah disebabkan kerana tidak mereka senangi atau tidak sesuai dengan keinginannya, sedangkan dalam kaedah syarak yang diketahui oleh Sheikh sebagai seorang ulama dari kalangan orang yang memegang jawatan kadi selama beberapa tahun bahawa orang ramai dipercayai tentang keturunan mereka (tidak boleh didustakan tanpa bukti), maka barangsiapa terbukti kebenaran nasabnya kemudian ada orang lain yang menuduh sebaliknya, maka ia mesti mengemukakan bukti, jika gagal maka ia boleh dijatuhkan hukuman had sebagai QAZIF, melemparkan tuduhan tanpa bukti.

Berkata Sheikh Tantawi, "Dan di antara mereka ada yang tidak mengaku demikian".

Sukacita kami menerangkan kepada Sheikh bahawa orang-orang Hadramaut yang sebagaimana anda katakan bahawa mereka tidak mengaku demikian (keturunan Rasulullah) menunjukkan anda tidak mengetahui tentang susunan masyarakat Hadramaut, yang mana orang Hadramaut mempunyai salasilah dan nasab bagi kabilah-kabilahnya. Di sana terdapat golongan Masyaikh dari keluarga Al-Amudi yang terkenal nasabnya, demikian juga Masyaikh dari keluarga Bafadal, Baabad, Al-Khatib, Al-Kathiri, Tamim, Syaiban, Nahd dan selainnya dari kabilah-kabilah Hadramaut yang terpelihara nasabnya dan dihormati seperti kabilah-kabilah lain yang terdapat di jazirah Arab; Saudi Arabia, Yaman dan Negara-negara Teluk.

Beliau berkata lagi, "Bahawa nilai seseorang itu di dalam agama Islam terletak pada ilmu dan takwanya".

"Benar katamu wahai Sheikh!" jawab saya, sesungguhnya agama Islam menilai setiap manusia dengan zat dan takwa, namun ia tidak menafikan pertaliannya dengan seseorang bahkan agama Islam menetapkan beberapa hukum yang diterangkan dalam kitab-kitab fikah berkenaan dengan orang yang mempunyai pertalian nasab dengan Rasulullah s.a.w. yang kemudian diabadikan oleh para imam kenamaan dalam kitab-kitab mereka sejak abad permulaan hingga ke abad ini dan mereka tidak pernah menafikan atau mencercanya bahkan mereka menetapkan dan menyediakan bab-bab atau ruang khas dalam kitab-kitab mereka. Lagi pun belum ada ulama yang menyatakan ketiadaan keturunan Rasul pada zaman di mana mereka menulis karangan-karangan mereka, kerana kalau memang tidak wujud mereka itu nescaya karangan-karangan mereka itu akan sia-sia belaka, sedangkan melakukan perbuatan sia-sia terhadap agama adalah terlarang.

Sheikh Tantawi, "Bukan kerana ayah atau datuknya tetapi orang yang mulia itu adalah orang yang bertakwa dan orang baik itu adalah orang yang baik perilaku dan akhlaknya".

Seggaf: "Benar katamu wahai Sheikh bahawa orang yang mulia itu adalah orang yang bertakwa dan orang baik itu adalah orang yang baik perilaku dan akhlaknya". Itu pengertian secara am, adapun orang yang mulia yang anda maksudkan di sini bukanlah orang mulia yang termasuk dalam pengertian am di atas, kerana yang dimaksudkan dengan orang-orang mulia adalah orang yang mempunyai pertalian nasab dengan keluarga Muhammad yang kecintaannya adalah sebahagian dari agama dan kebenciannya adalah terkeluar dari agama sedangkan agama tidak pernah melarang seseorang menasabkan kepada ayah dan datuk bahkan diakuinya. Lihatlah kitab-kitab Tabaqat yang menyebut nasab bagi tiap-tiap biografi seseorang, demikian juga kitab-kitab tarikh dan kitab-kitab perawi tidak seorang pun mengatakan tentang pengurangan nasab seseorang kepada ayah dan datuknya terutama jika ayah dan datuknya tergolong dari kalangan ahli ilmu yang mempunyai kemuliaan dan kedudukan, lalu bagaimana kita dapat menuntut dari orang yang nasabnya kepada keluarga Rasulullah s.a.w. supaya tidak menasabkan dirinya kepada ayah-ayah mereka dan datuk-datuk mereka, padahal mereka adalah para imam yang bertakwa, berilmu, mempunyai kemuliaan, memberi petunjuk dan mempunyai kelebihan, demi Allah ini suatu ketidakadilan.

Sheikh Tantawi, "Kemudian kebanyakan nasab-nasab ini yang dikatakan berhubung dengan Rasulullah s.a.w. tidak ada yang membuktikan dan menguatkannya selain dari kata-kata mereka sendiri".

Seggaf: "Bagaimana anda mengatakan kata-kata seperti ini wahai Sheikh terhadap umat yang nasabnya telah dinyatakan secara mutawatir dan beberapa karangan dan salasilah tentang nasab mereka telah ditulis sejak abad kedua di mana kami telah nyatakan kepada anda dalam pembahasan ini, jika anda ingin mengetahui tentang orang-orang yang menulis nasab keluarga Bani Alawi saja, anda akan temukan ratusan orang dari ahli nasab, ahli tarikh dan biografi yang akan menerangkan kepada anda dan orang-orang seperti anda, serta dengan tarikh kewafatan mereka. Maka carilah dan lihatlah dengan pandangan ilmu dan pengetahun tidak dengan pandangan negatif dan ingkar, kerana sifat negatif dan ingkar itu bukanlah sifat seorang muslim, apa lagi sebagai seorang yang berilmu dan berdakwah. Sedangkan Allah telah menunjukkan kepada kita tentang dosa besar syaitan tatkala ia mengingkari kelebihan penciptaan Adam a.s. dan apa yang kami sebutkan kepada anda dalam pembahasan ini tentang kebenaran nasab Bani Alawi bukanlah kata-kata mereka tetapi kata-kata orang lain dari kalangan ulama di bidang hadis dan fikah seperti Imam As-Sakhawi, Ibnu Hajar Al-Haithami dan lain-lain dari kalangan imam-imam yang membawa petunjuk. Adapun apa yang terbukti kebenarannya dengan rajah nasab Bani Alawi maka ia meliputi kebenaran semua salasilah keluarga Nabi s.a.w. yang disebut dalam kitab-kitab nasab biografi, sirah dan tarikh".

Bukankah kata-kata anda; "MEREKA MENGATAKAN" iaitu adalah celaan terhadap nasab mereka? Sesungguhnya kata-kata seperti ini termasuk dalam kata-kata mungkar dan dusta yang dilarang oleh Allah dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang dianggapnya sebagai perbuatan dosa dan nista yang besar, ketika Allah berfirman: "Ketika kamu menerima berita itu dengan lidahmu dan mengatakan dengan mulutmu perkara yang kamu tidak ketahui dan kamu menganggapnya perkara kecil saja, padahal ia di sisi Allah suatu perkara besar".

Bukankah kalimat yang anda ucapkan wahai Sheikh merupakan penghinaan yang menyiksa mereka? Semua orang tahu bahawa perbuatan mencerca nasab seseorang muslim itu adalah suatu penyiksaan yang teramat besar. Sabda Rasulullah s.a.w. kepada kita: "Barangsiapa mengganggu seorang muslim maka ia telah menggangguku dan barangsiapa menggangguku ia telah mengganggu Allah (H.R. Muslim) Lalu apa pendapat anda tentang orang yang mengganggu zuriat keluarga Rasulullah s.a.w. yang mana beberapa hadis menyebutkan tentang haramnya mengganggu mereka.

Wahai Sheikh, tiap-tiap perkataan seseorang akan dipertanggungjawabkan apa lagi dari seorang alim yang mana Allah memerintah kita supaya menjaga lidah kita dari percakapan yang tiada berguna apa lagi kata-kata keji, firman Allah mengenai tanggungjawab kata-kata: "Tiada suatu perkataan yang diucapkan (manusia), melainkan di dekatnya ada pengawas yang siap sedia (mencatatnya)". Dan sabda Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Ibnu Omar r.a.: "Sesungguhnya Allah tidak menyiksa hambanya kerana linangan air matanya dan tidak pula kerana duka di hati tetapi Allah menyiksa kerana ini..... beliau menunjuk kepada lidahnya". (Muttafaqun alaih). Kemudian Muaz Bin Jabal meriwayatkan sebuah hadis yang panjang dari Rasulullah s.a.w. sabdanya: "Mahukah kamu aku beritahukan tentang penyebab semua kebinasaan?" Aku jawab: Tentu ya Rasulullah! Lalu beliau memegang lidahnya sambil berkata: "Jagalah olehmu ini". Aku bertanya: Ya Rasulullah, apakah percakapan kita akan diperhitungkan? Jawab beliau: "Celaka kamu kerana ibumu, bukankah manusia yang tersungkur dengan mukanya ke dalam api neraka hanya kerana hasil dari percakapannya?" Dikeluarkan oleh Tirmizi dan dikatakan bahawa hadis ini hasan sahih.

Kata-kata yang keluar dari mulut orang alim biasanya akan diterima dan ditelan oleh orang-orang jahil tanpa dikaji lagi sehingga dosanya akan ditanggung oleh si alim itu.

Sheikh: "Saya tidak menuduh nasab seseorang akan tetapi saya menerangkan suatu kenyataan yang konkrit".

Seggaf: "Bagaimana anda katakan demikian wahai Sheikh, bahawa anda tidak menuduh nasab seseorang padahal anda katakan dalam rencana anda yang sama "Sesungguhnya mereka mengaku bahawa mereka itu sebagai SADAH". "Bukankah itu merupakan suatu cercaan dan celaan terhadap nasab mereka? Padahal Rasulullah s.a.w. bersabda seperti diriwayattkan oleh Abu Hurairah r.a. katanya: "Dua perkara yang jika dilakukan oleh umatku menjadi kafir; menghina nasab dan meratapi orang mati", H.R. Muslim.

Maka menurut hadis ini kata-kata anda itu adalah suatu perlanggaran yang anda lakukan terhadap hak umat, termasuk di dalamnya para ulama, orang-orang saleh dan para da'i yang telah menerangi umat-umat dan bangsa-bangsa. Adapun yang anda tulis dalam beberapa lembaran surat khabar As-Sharqul Awsat hanya sebahagian dari mereka, seandainya anda mengetahui keluarga ini, kebaikan dan kedudukannya, kemudian anda akan temukan betapa ia sesuai dengan hadis Nabi s.a.w. yang dikeluarkan oleh Tabarani dalam kitab Al-Kabir dan selainnya di mana beliau mengatakan, sabda Rasulullah s.a.w.: "Utamakanlah orang-orang Quraish dan jangan kamu mendahului mereka, belajarlah kamu dari orang-orang Quraish dan jangan mengajari mereka, kalau tidak kerana aku khuatir kelak orang Quraish menjadi sombong, pasti telah kuberitahukan kedudukan mereka dan orang-orang yang baik di kalangan mereka di sisi Allah Ta'ala".

Kemudian anda mengatakan bahawa anda hanya menerangkan suatu kenyataan yang konkrit, bukti apakah yang anda terangkan wahai Sheikh? Dan apa dasarnya? Sedang Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah mengajar dan memberi petunjuk kepada kita dengan firman-Nya: "Dan di antara manusia ada yang membantah Allah tiada dengan pengetahuan, tiada pula pimpinan dan kitab yang memberikan penerangan".Dan firman-Nya: "Itu hanya angan-angan kosong belaka, katakan dan kemukakan alasanmu, jika kamu memang benar!".

Dan anda tahu benar wahai Sheikh! Apa yang dimaksud dengan hakikat yang konkrit itu, bukanlah ia suatu perkara yang telah terbukti dengan dalil qat'i? Lalu bagaimana boleh anda katakan hakikat yang konkrit sedangkan anda tidak mengemukakan alasan bagi menguatkan kata-kata dan hakikat yang anda katakan itu? Kemudian dari mana datangnya hakikat yang konkrit itu? Takutlah kamu kepada Allah dengan menjaga kata-katamu wahai Sheikh Tantawi!

Saya ingin menerangkan kepada anda wahai Sheikh Ali dan kepada orang-orang yang mempersoalkan tentang keluarga ini yang bersambung nasab kepada keluarga Rasulullah s.a.w. bahawa sepanjang zaman terdapat di kalangan mereka para ulama, imam-imam, orang-orang saleh dan para da'i yang enggan dirinya keluar dari agama ini (dengan mendakwa nasab yang tidak benar), cukup menjadi kebanggaan mereka apa yang ada pada mereka dari ilmu dan kedudukan di mana Rasulullah s.a.w. mengancam orang-orang yang menasabkan dirinya kepada selain ayahnya dengan sabda baginda s.a.w. seperti yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ali r.a. secara marfuk: "Barangsiapa mengaku nasab kepada selain ayahnya dan membangsakan dirinya kepada selain maulanya, maka baginya laknat dari Allah, malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak menerima darinya sebarang pertukaran dan tidak pula gantian". (Muttafaqun alaih).

Dan sabda Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Saad r.a. secara marfuk: "Barangsiapa mengaku keturunan selain ayahnya sedang ia mengetahui maka diharamkan padanya syurga". (Muttafaqun alaih).

Setelah mengemukakan beberapa dalil yang tidak dapat dimungkiri melainkan oleh orang yang angkuh dan menentang Allah dan Rasul-Nya yang tiada mempunyai tujuan lain kecuali mencerca itrah (keturunan) Rasulullah s.a.w. yang mana beliau bersabda dalam hadis tentang hijrahnya puteri Abu Lahab, ketika orang mengatakan kepadanya: "Sesungguhnya hijrahmu tidak akan menguntungkanmu kerana kamu adalah puteri kayu api neraka". Apabila diberitahukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. maka sangat marah beliau kemudian naik ke atas mimbar dan berkata: "Mengapa masih ada kelompok-kelompok yang menyakiti hatiku dengan mencerca nasabku dan keluargaku? Ketahuilah barangsiapa mencerca keturunan dan keluargaku maka ia telah mencerca aku dan siapa mencercaku maka ia telah mencerca Allah". Dikeluarkan oleh Abil Asim, Tabarani dan Baihaqi dengan lafaz yang hampir sama. Kami tidak dapat berbuat apa-apa kepada Sheikh ini dan orang-orang yang mengikuti jejaknya mencerca nasab-nasab keluarga Rasulullah s.a.w. selain mendoakan kepada Allah semoga Allah memberi hidayah dan siapa yang diberi hidayah oleh Allah tiada siapa yang boleh menyesatkannya dan siapa yang sesat maka tiada siapa yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

PEMBAHASAN KEEMPAT

NASAB YANG TIDAK TERPUTUS DI DUNIA MAHUPUN DI AKHIRAT

Sebagaimana diketahui dengan dalil-dalil qat'i yang datang dari Rasulullah s.a.w. bahawa nasab keturunan Muhammad akan berterusan hingga hari kiamat dan seterusnya hingga mereka datang di telaga Rasulullah s.a.w. Adapun orang yang mengatakan bahawa nasab ini terputus, tidak akan bersambung atau tidak diketahui, mereka itu menentang hadis-hadis Rasulullah s.a.w. yang mengatakan kesinambungan nasab ini, bukti-bukti bersambungnya dan kemasyhurannya, kerana Al-Mahadi akan muncul dari nasab yang mulia ini dan di antara syarat-syarat beriman padanya ialah dengan mengenal nasabnya dengan pengetahuan yang jelas, terang dan tiada kesamaran. Di sini kami akan mengemukakan beberapa dalil sambil menerangkan segi pengambilan hukumnya, di antaranya:

FASAL PERTAMA:

1. Dari Zaid Bin Arqam r.a. katanya: Telah bersabda Rasulullah s.a.w.: "Sesungguhnya aku meninggalkan di tengah-tengah kamu dua perkara yang berat, selagi kamu berpegang padanya kamu tidak akan sesat sepeninggalan aku, yang satu lebih besar dair yang lain; Kitab Allah yang merupakan tali yang terhulur menjunam dari langit ke bumi dan itrahku (keturunan) dari Ahli Baitku, keduanya tidak akan berpisah sehingga datang padaku di Telaga Haudh, maka perhatikanlah bagaimana sikap kamu terhdap keduanya itu", diriwayatkan oleh Muslim, Tirmizi dan Ahmad.

  1. Dari Jabir Bin Abdillah r.a. katanya: Aku melihat Rasulullah s.a.w. sedang berkhutbah di atas untanya yang terpotong telinganya dan kudengar sabdanya: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kamu dua perkara yang berat -- jika kamu mengambilnya maka kamu tidak akan sesat; Kitab Allah dan itrahku dari Ahli Baitku", diriwayatkan oleh Tirmizi dan Ahmad.
  2. Al-Hafiz Ibnu Kathir memuat dalam tafsirnya sebuah hadis yang menurutnya sahih, bahawa Rasulullah s.a.w berkata dalam khutbahnya di Ghadir Khom: "Sesungguhnya aku meninggalkan di tengah-tengah kamu dua perkara yang berat (thaqalain); Kitab Allah dan itrahku dan bahawa keduanya tidak akan berpisah sehingga datang menjumpaiku di Telaga Haudh".
  3. Dari Zaid Bin Arqam r.a. katanya: Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. berdiri sedang menyampaikan khutbahnya di hadapan kami di suatu telaga air bernama Khom yang terletak antara Mekah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan memuji kepada Allah, memberi peringatan dan nasihat lalu bersabda baginda s.a.w.: "Amma ba'du, wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah seorang basyar (manusia) dan tidak lama lagi aku akan menyahut seruan tuhanku, maka aku tinggalkan di tengah-tengah kamu dua perkara yang berat (Thaqalain); pertama Kitab Allah Ta'ala yang di dalamnya mengandungi petunjuk dan cahaya, maka ambillah kitab Allah itu dan berpeganglah padanya", lalu baginda menganjurkan supaya memberi perhatian kepadanya dan menggemarkan orang kepadanya kemudian sabdanya: "Dan Ahli Baitku, aku peringatkan kamu terhadap Ahli Baitku". Lalu Husain bertanya: Siapakah Ahli Bait baginda wahai Zaid? Bukankah isteri-isteri beliau adalah Ahli Baitnya? Zaid menjawab: Sesungguhnya isteri-isteri baginda bukanlah daripada Ahli Baitnya akan tetapi Ahli Bait baginda adalah orang-orang yang diharamkan pada mereka menerima sedekah selepas kewafatan baginda. Ia bertanya lagi: Siapakah mereka itu? Jawabnya: Mereka itu adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Jaafar dan keluarga Al-Abbas r.a. Katanya: Apakah semua mereka itu diharamkan padanya sedekah? Jawabnya: Ya, diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Tirmizi dan Nasa'i.

HUKUM YANG DAPAT DIAMBIL DARI HADIS-HADIS DI ATAS:

1. Al-Qur'an-ul-Karim akan kekal dan akan kekal pula hukumnya serta bukti kebenarannya di atas permukaan bumi sehingga hari kiamat kemudian datang kepada Rasulullah di telaga haudhnya seperti disebutkan dalam tiga hadis pertama di atas.

  1. Ahlul Bait adalah 'partner' Al-Qur'an yang sentiasa berdamping dengannya, tiada mungkin terpisah sehingga keduanya bertemu dengan Rasulullah di telaga haudhnya seperti diterang oleh hadis-hadis di atas.
  2. Dari hadis ini dapat diketahui bahawa keturunan Ahlul Bait sentiasa dikenal dan dipercayai sebagaimana Al-Qur'an-ul-Karim dipercayai, kerana keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, seperti disifatkan oleh hadis-hadis sahih di atas.
  3. Rasulullah s.a.w. menyebutkan dalam tiga hadis pertama di atas bahawa beliau meninggalkan di atas permukaan bumi ini dua perkara yang sentiasa bergandingan, siapa berpegang kepada keduanya tidak akan sesat iaitu; Kitab Allah dan itrahnya.

FASAL KEDUA:

1. Abu Daud mengatakan dalam Sunannya: Telah memberitahu saya Ahmad Bin Ibrahim, dari Abdullah Bin Jaafar Ar-Rugi, dari Abul Malij Al-Hasan Bin Omar dari Ziyad Bin Bayan dari Ali Bin Nufail dari Said Bin Al-Musayyib dari Ummu Salamah katanya: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Al-Mahdi adalah dari keturunanku dan dari cucu Fatimah", dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari Said Bin Al-Musayyib katanya: Kami pernah berada di rumah Ummu Salamah r.a. dan kami menyebut-nyebut Al-Mahdi, maka katanya: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Al-Mahdi dari keturunan Fatimah", hadis ini disahihkan oleh As-Sayuti dalam kitab Al-Jami' As-Saghir.

  1. Abu Daud juga meriwayatkan dalam Sunannya dari jalur Asim Bin Ibnun-Nujud dari Zar Bin Abdullah Bin Mas'ud r.a. dari Rasulullah s.a.w. sabdanya: "Sekiranya tidak tinggal melainkan sehari umur dunia, nescaya Allah akan memanjangkan hari itu sehingga dibangkitkan padanya seorang dariku atau dari keluargaku yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku, ia akan memenuhi bumi dengan kesaksamaan dan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan", hadis ini disahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhajus Sunnah an-Nabawiyah.
  2. Berkata Abu Daud dalam Sunannya: Telah memberitahu aku Suhail Bin Tamam Bin Badi' dari Imaran Al-Qattan dari Abi Nadrah dari Abi Said Al-Khudri katanya: Telah bersabda Rasulullah s.a.w.: "Al-Mahdi dari keturunanku, lebar dahinya dan mancung hidungnya, ia memenuhi bumi dengan kesaksamaan dan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan dan akan berkuasa selama 7 tahun". Hadis disahihkan oleh Ibnu Qayyim dalam kitab Al-Manar dan As-Sayuti dalam kitab Al-Jami' As-Saghir.

Dari hadis-hadis mengenai Al-Mahdi di atas dapat diambil beberapa pengajaran:

1. Al-Mahdi dari keturunan Rasulullah s.a.w. dan keluarga Nabi s.a.w. adalah keturunan wanita ahli syurga, Sayidah Fatimah Az-Zahra' iaitu dari keturunan Sayidina Al-Hasan atau Sayidina Al-Husain r.a.

  1. Al-Mahdi akan datang pada akhir zaman dan bahawa beliau dari keturunan Ahlul Bait. Oleh kerana beliau dari keturunan Ahlul Bait maka nasabnya mesti dikenal dan disepakati oleh semua pihak, sehingga tidak terdapat keraguan pada nasabnya, kerana kami diperintah untuk mengimaninya dan mengikutinya sekalipun dengan merangkak di atas salji, seperti disebutkan dalam hadis-hadis sahih.
  2. Al-Mahdi disebutkan dalam banyak hadis yang telah mencapai tingkat mutawatir maka barangsiapa mengingkarinya atau mencaci nasabnya dan nasab keturunan Fatimah Az-Zahra' yang telah terbukti dengan dalil-dalil naqli dengan sanad-sanadnya yang sahih lagi mutawatir, maka ia telah mengingkari suatu dalil syar'i yang terbukti kebenarannya, sedangkan orang yang mengingkari hadis mutawatir jelas hukumnya di sisi para ulama syarak dan untuk lebih memperjelas kami sebutkan beberapa dalil dalam pembahasan-pembahasan risalah ini.

FASAL KETIGA:

Firman Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an "Syurga 'Adn mereka masuk ke dalamnya dan juga orang yang baik-baik dari bapak-bapak mereka dan isteri-isteri (suami-suami) mereka dan turunan mereka".

Maka dapat diambil pengajaran dari ayat suci ini, bahawa Allah s.w.t. menetapkan suatu hukum kepada keturunan-keturunan yang mana mereka akan menyertai datuk-datuk mereka, lalu bagaimana dapat dipastikan keturunan-keturunan itu tanpa ketetapan nasab, sedangkan zuriat (keturunan) sebagaimana kita ketahui adalah dari hasil keturunan seorang lelaki atau orang yang dinasabkan kepadanya hingga hari kiamat.

FASAL KEEMPAT:

1. Dari Abi Said Al-Khudri r.a. katanya: Aku mendengar Rasulullah s.a.w berkhutbah di atas mimbar: "Mengapa masih ada sebilangan kaum yang mengatakan bahawa tali kekeluargaan Rasulullah s.a.w tidak menguntungkan kaumnya pada hari kiamat. Sungguh demi Allah bahawasanya tali kekeluargaan akan tetap tersambung di dunia mahupun di akhirat. Wahai sekelian manusia! Sesungguhnya aku akan mendahului kamu sampai di Telaga Haudh" diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Hakim dalam sahihnya, dan Al-Baihaqi dan Tabarani dalam kitab Al-Kabir.

  1. Al-Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. katanya: Telah meninggal dunia seorang puteri Safiah binti Abdul Muttalib r.a. kemudian beliau bercerita yang kesudahannya beliau katakan: Kemudian Rasulullah s.a.w. berdiri, setelah mengucapkan hamdalah dan memuji kepada Allah lalu bersabda: "Mengapa masih ada sebilangan kaum yang menuduh bahawa hubungan kerabatku tidak akan memberi manfaat, ketahuilah bahawa semua kemuliaan dan keturunan akan terputus pada hari kiamat kecuali kemuliaan dan keturunanku dan sesungguhnya tali kekeluargaanku akan tetap bersambung di dunia mahupun di akhirat", hadis ini disahihkan oleh Al-Hafiz As-Sakhawi dan Ibnu Hajar dan disebutkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari tiga jalur.

PENGAJARAN

1. Dari dua hadis di atas nyatalah bahawa kemuliaan dan keturunan Rasulullah s.a.w. tidak akan terputus sama ada di dunia mahupun di akhirat.

  1. Nabi s.a.w. membantah anggapan orang yang mengatakan bahawa tali kekeluargaannya tidak memberi manfaat, bahkan menguatkan manfaat tersebut dengan sumpah yang mana sabdanya: "Demi Allah sesungguhnya tali kekeluargaanku tetap bersambung di dunia dan di akhirat". Maka jelas bahawa dari keterangan hadis-hadis Rasulullah s.a.w. di atas bahawa itrah beliau adalah keterununan Saiyidina Al-Hasan dan Saiyidina Al-Husain r.a. dan bahawasanya keturunan ini akan kekal sebagaimana kekalnya Al-Qur'an sehingga kedua datang pada hari kiamat di Telaga Haudhnya. Sesungguhnya Al-Mahdi berasal dari keturunan suci ini yang sentiasa terbukti dengan jelas tanpa ada keraguan di dalamnya, laksana Al-Qur'an yang terang, jelas dan terbukti kebenarannya. Kemudian bahawasanya nasab Rasulullah s.a.w. tidak akan terputus di dunia mahupun di akhirat, siapa yang mengingkarinya maka ia telah mengingkari kewajipan beragama, menentang Allah dan mendustakan hadis-hadis sahih mutawatir yang datang dari Rasulullah s.a.w.

PEMBAHASAN KELIMA

AALI BA'ALAWI ATAU BANI ALAWI

Ketika sedang berkecamuk fitnah di Basrah di mana bandar-bandar di Iraq menghadapi bahaya pembunuhan dan terorisme, Imam Ahmad Bin Isa meninggalkannya pada tahun 317 H bersama sebilangan besar dari keluarga dan pembantunya yang mencapai jumlahnya lebih kurang 70 orang. Perlu diketahui bahawa Imam Ahmad adalah ketua orang-orang Alawiyyin di Basrah. Beliau adalah putera Imam Isa Bin Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi dan beliau seorang alim, lalu Imam Ahmad menuju ke Madinah Al-Munawwarah dan tinggal di sana selama setahun, kemudian menunaikan haji pada tahun 318 H. Setelah selesai menunaikan hajinya beliau terus menuju ke Yaman, di antara tempat yang dilaluinya ialah Aljubail di suatu lembah Dau'an bersama dengan rombongannya dari Basrah, lalu berpindah ke bandar Alhajrain yang masyhur. Di sana beliau memiliki sebidang tanah dan pokok tamar, kemudian beliau berpindah ke bandar Al-Husaisah yang kini telah hilang/tertimbus yang dahulunya terletak di antara dua bandar Siwon dan Tarim, lalu meninggal dunia di sana pada tahun 345 H dan kuburnya yang terkenal terletak di tengah-tengah bukit di mana terlihat oleh pengunjungnya dari semua arah.

Ketika Imam Ahmad Bin Isa tiba bersama rombongannya di Hadramaut beliau tidak memiliki rumah-rumah, tanah atau ladang pertanian, tetapi orang-orang dari kalangan Ahli Sunnah dan Syiah datang mengadap pada beliau, sementara orang-orang Abadhiah dari kalangan Kindah dan Almaharah menentang kehadiran beliau di Hadramaut. Sebahagian para ahli sejarah menyebutkan tentang terjadinya pertempuran Bahran di antara orang-orang Abadhiah di satu pihak dan Ahlus Sunnah dan Syiah di pihak yang lain. Orang Abadhiah berusaha menyingkirkan Imam Al-Muhajir dari Hadramaut sementara orang-orang Syiah menghendaki beliau kekal di sana. Akhirnya kemenangan berada di pihak penyokong-penyokong Imam Al-Muhajir dan tewaslah orang-orang Abadhiah dalam pertempuran ini. Kemudian tersebarlah keturunan Imam Ahmad di Hadramaut di mana orang yang pertama dari keturunannya dilahirkan di Hadramaut ialah Imam Alawi Bin Ubaidillah Bin Ahmad Bin Isa, dinamakan dengan nama ini kerana dinisbahkan kepada Imam Ali dan tidak seorang pun membantu atas pemberian nama ini, maka kepada Imam Alawi inilah kemudian dinasabkan SADAH di Hadramaut, lalu mereka disebutkan Aali Ba'Alawi seperti cara orang-orang Hadramaut menasabkan kepada datuk-datuk mereka. Adapun dalam bahasa yang fasih Ba'Alawi ini terpisahlah antara keturunan Imam Ahmad Bin Isa yang tersebar di Hadramaut dan di tempat-tempat berhijrahnya orang-orang Hadramaut dengan nisbah yang am dipakai bagi keturunan Imam Ali Bin Abi Talib karramallahu wajhah. Orang-orang yang menyokongnya dipanggil Alawiyyin, sementara orang-orang yang menentangnya disebut Nawasib, seperti Othmaniyyin, Sufyaniyyin dan Huraiziyyin, mereka itu dinisbahkan kepada Saiyidina Othman r.a., Abu Sufyan Bin Harb dan Huraiz An-Nassibi yang masyhur.

Adapun keturunan Imam Alawi Bin Ubaidillah adalah orang-orang berilmu, berdakwah dan mempunyai istiqamah. Mereka menjadikan orang-orang yang tinggal di Hadramaut dan di tempat-tempat berhijrahnya sebagai orang-orang yang bermazhab Syafi'e dan dengan ilmu dan kebijaksanaan mereka, Hadramaut bertukar dari penganut mazhab Abadhi yang sudah menyimpang kepada Ahlus-Sunnah bermazhab Syafi'e. Kemudian mereka memperluas gerakannya ke dunia Islam yang lain, lalu bergeraklah mereka ke beberapa wilayah Asia Tenggara dan Afrika Timur sambil membawa cahaya Islam demi memenuhi perintah tuhannya kerana firman Allah Ta'ala: "Ajaklah mereka kepada jalan Allah dengan bijaksana dan pengajaran yang baik".

Lihatlah kitab 'Islam di Timur Jauh', (tarikh masuknya penyebaran dan keadaannya) karangan Dr. Kaisar Adib Mokhol yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Dr. Nabil Subhi dan kitab 'Pengantar Kepada Sejarah Islam di Timur Jauh', karangan Al-Allamah Alwi Bin Tahir Al-Haddad Ba'Alawi, kitab 'Sejarah Islam di Filipina' oleh Dr. Naqib Salibi, kitab 'Masuknya Islam Ke Afrika Timur' oleh Ustaz Hamid Ahmad Masyhur Al-Haddad dan 'Dunia Islam Masa Kini' oleh Amir Shakib Arslan.

KETUA NASAB LAIN YANG MASYHUR DARI BANI ALAWI

Di antara nasab yang masyhur di Hadramaut, Yaman, Al-Haramain As-Syarifain dan tempat-tempat berhijrahnya orang-orang Hadramaut, Mesir, Syria serta Moroko, iaitu yang berasal dari Al-Allamah Ad-Da'iyah Al-Muhaqqiq kepada orang salaf dahulu yang mempunyai nama, baik di timur, barat dan tanahair ialah Ahmad Bin Hassan Bin Abdullah Al-Attas. Beliau dilahirkan pada tahun 1257 H di Huraidhah, Hadramaut. Beliau memperoleh ilmu pengetahuan dari ulama terkemuka di sana sehingga beliau menguasai ilmu-ilmu bahasa dan syariah Islamiah. Setelah menghafal Al-Qur'an dan bacaan-bacaannya beliau pergi ke Al-Haramain As-Syarifain untuk menuntut ilmu di Mekah Al-Mukarramah, maka tersebarlah nama baiknya di sana dan beliau dikenal oleh ulama yang datang ke Mekah Al-Mukarramah kerana hubungan beliau yang erat dengan guru besar dan mufti Mekah, As-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang mana telah disediakan untuk beliau suatu tempat duduk yang tinggi di tengah-tengah suasana keilmuan dan beliau diizinkan mengajar di Al-Haram dimana beliau dikerumuni oleh para ulama Mekah, Madinah, Mesir, Syria dan Moroko kerana luasnya ilmu beliau, cerdas otaknya, baik pemikirannya dan meresap kata-katanya sehingga banyak di antara ulama Al-haramain As-syarifain, Mesir, Syria dan Moroko memuji beliau. Tambahan lagi beliau berasal dari Hadramaut, lalu mereka menterjemahkan kitab-kitab beliau. Kemudian beliau kembali ke Hadramaut di mana beliau mendapat suatu manfaat yang besar kerana dapat menyebarkan ilmu dan dakwah serta melakukan kebaikan. Beliau juga banyak mempunyai jasa dan semua orang mengenal nisbah beliau kepada keturunan Rasulullah (Itrah Muhammadiyah) tiada seorang pun yang mengingkarinya dan dengan itu beliau dikenal dalam beberapa perjalanannya terutama di Mesir ketika datang menziarahinya pada tahun 1308 H. Kemudian setelah menempuh kehidupan yang penuh dengan erti kebaikan beliau telah kembali ke rahmatullah pada tahun 1334 H setelah mencapai usia 77 tahun


PEMBAHASAN KEENAM

PERNYATAAN PARA AHLI SEJARAH, NASAB DAN BIOGRAFI TENTANG KETURUNAN AL-MUHAJIR AHMAD BIN ISA

Sadah Bani Alawi di Hadramaut atau di tempat-tempat mereka berhijrah tidak asing lagi, bahkan keluarga ini yang paling masyhur dan dikenal disemua tempat oleh segenap lapisan masyarakat baik yang khawas atau awam pada seluruh zaman. Mereka tidak mengadaptasi nasabnya seperti dugaan sebahagian orang, tetapi nama baik mereka terkenal dan tersebar luas, sehingga banyak pengikut-pengikut mereka di Hadramaut dari kalangan kabilah-kabilah, terutama dari kalangan ulama Masyaikh dari keluarga Abi Fadhl, keluarga Al-Amudi dan selainnya, yang mana tidak seorang pun dari mereka berani mendustakan nasab ini. Adapun terjadinya permusuhan oleh sebahagian penduduk Hadramaut kepada Bani Alawi adalah kerana mereka khuatir terhadap kedudukan mereka dan takut diambil alih oleh Sadah yang mulia yang datang dari luar Hadramaut, yang mana mempunyai kelebihan-kelebihan yang melayakkan mereka bagi menduduki tempat-tempat itu kerana mereka memiliki sifat-sifat seperti ilmu, kemuliaan dan budi pekerti yang luhur. Dengan kelebihan yang ada itu maka lahirlah dari keluarga ini sejumlah besar dari tokoh-tokoh yang namanya terkenal di barat mahupun di timur dan berdatangan kepada mereka orang-orang dari berbagai penjuru bumi untuk menimba ilmu pengetahuan daripada mereka sebagaimana mereka juga tampil di luar Hadramaut terutama di Al-Haramain As-Syarifain ,yang akan diterangkan kepada anda dalam ruang pembahasan ini tentang orang-orang yang menulis biografi mereka dan menyebutkan ketua-ketua nasabnya selain daripada ulama Hadramaut kerana masyhurnya nasab mereka di kalangan para ahli sejarah, ahli nasab dan ahli biografi di dunia Islam yang telah disusun menurut tarikh wafatnya. Dalam pembahasan ini terdapat 14 bahagian, setelah menyebutkan susur-galur nasab yang diterangkan oleh penyusun ini kami ingin memberi keterangan tentang kedudukan orang alim ini dan sedikit daripada peninggalan-peninggalannya.

Bahagian Pertama

Abul Faraj As-Asfahan wafat pada tahun 356 H.

Sasterawan dan ahli sejarah, Abul Faraj Al-Asfahani menyebutkan dalam kitabnya, Maqatil At-Talibin, sebuah kitab yang menerangkan tentang susur-galur nasab dari mereka yang terbunuh dari keturunan Abu Talib, bermula dari Imam Ali Bin Abi Talib k.w. hingga orang-orang yang terbunuh dalam masa kekuasaan Al-Muqtadir Al-Abbasi yang wafat pada tahun 320 H dan kitab itu dicetak oleh Darul Ma'rifah di Beirut.

Beliau juga menyebutkan pada muka surat 718 tentang pembunuhan Muhammad Bin Yahaya Bin Muhammad Bin Ali Bin Jaafar Bin Muhammad Bin Ali Bin Al-Husain Bin Ali Bin Abi Talib r.a.

Yahaya tersebut adalah saudara Isa An-Naqib yang digelar dengan Ar-Rumi, dan di antara anak-anak Isa adalah Ahmad iaitu datuk kepada Sadah keluarga Ba'Alawi di Hadramaut.

Abul Faraj Al-Asfahani sebagaimana maklum adalah seorang dari keturunan Bani Umayyah yang hidup satu zaman dengan Imam Ahmad Bin Isa Bin Muhammad Bin Ali Ja'afar As-Sadiq.

Bahagian Kedua

Sheikh As-Syaraf Al-Ubaidili, wafat pada tahun 356 H.

Sheikh As-Syaraf Abul Hasan Al-Ubaidili menyebutkan dalam kitabnya 'Tahdzibul Ansab' ketika ia menerangkan keturunan Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi dengan katanya, "Di antara anak Ahmad Bin Isa Al-Akbar adalah Abu Ja'far Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Isa Bin Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi". Kemudian ia mengatakan, "Saya telah melihat beliau di Baghdad yang kemudian beliau kehilangan penglihatannya dalam usia yang lanjut (yakni Abu Ja'far Muhammad Bin Ali)".

Adapun Muhammad Bin Ahmad Bin Isa Bin Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi adalah saudara Ubaidillah, iaitu datuk kepada Sadah keluarga Abi Alawi.

Bahagian Ketiga

Abul Hasan Al-Umri, wafat pada tahun 443 H.

Abul Hasan Al-Umri menyebutkan dalam kitabnya 'Al-Majdi Al-Makhtut' ketika menerangkan keturunan Ali Al-Uraidhi, katanya "Adapun Isa Bin Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi adalah seorang pemimpin ternama mempunyai gelaran Ar-Rumi dan beliau dilahirkan dari seorang hamba perempuan (Ummu Walad)".

Adapun Isa mempunyai beberapa orang anak yang dari mereka menghasilkan keturunan yang banyak, yang mana di antara keturunannya ialah datu Sadah keluarga Bani Alawi -- Alawi Bin Ubaidillah Bin Ahmad Bin Isa.


Bahagian Keempat

Abu Abdillah Bahauddin Muhammad Bin Yusuf Bin Ya'kub Al-Jundi wafat pada tahun 732 H.

Al-Allamah Alwi Bin Tahir Al-Haddad menyatakan dalam kitabnya 'Uqudul Almas' juz 2 muka surat 58, bahawa Al-Jundi memberikan keterangan dalam kitabnya 'As-Suluk Fi Tabaqatil Ulama Wal Muluk' tentang riwayat hidup 11 orang dari keturunan Bani Alawi. Saya telah berusaha mencari buku itu untuk menyalin biografi seorang atau lebih dari orang-orang yang telah tertulis biografinya dalam kitab tersebut, akan tetapi tidak banyak diperolehi memandangkan ia ditulis dengan tulisan tangan, lalu saya dapatkan juz pertama yang telah dicetak dan ditahqiq oleh Muhammad Bin Hasan Al-Akwak, sedangkan yang lain belum dicetak pada masa itu. Saya berjanji jika ia sudah dicetak akan saya tambahkan salasilah nasab orang-orang yang ditulis biografinya dalam cetakan yang akan datang, Insya Allah Ta'ala.

Bahagian Kelima

Ibnu Anbah , wafat pada tahun 828 H.

Sila lihat apa yang telah ditulis oleh Ibnu Anbah dalam umdah besar dan kecil juga dalam salasilah di mana ia menyebutkan nasab keluarga Ali Al-Uraidhi seraya katanya, "Adapun susunan nasab keturunan Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi ialah Ahmad Al-Abh Bin Muhammad Al-Hasan Ad-Dallal Bin Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Isa Al-Akbar Bin Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi Bin Ja'far As-Sadiq.

Ahmad Bin Isa adalah datuk Alwi Bin Ubaidillah yang kemudian menjadi asal usul Sadah Bani Alawi di Hadramaut, Jawa dan di tempat-tempat di mana keturunan mereka tersebar luas.

Bahagian Keenam

Abul Fudhail Al-Kazim , wafat pada penghujung abad ke-9 H.

Abul Fudhail Muhammad Al-Kazim Bin Abil Futuh menyebutkan dalam kitabnya 'An-Nafhatul Ambariyyah Fi Ansabi Khairil Bariyyah' yang ditulis dalam khazanah Sheikh Abdullah Az-Zanjani di Qum, Iran, beliau menyatakan tentang keturunan Ja'far As-Sadiq katanya, "Anak-anak Ali Bin Ja'far As-Sadiq ialah Abdullah, Abdul Jabbar dan Muhammad yang daripadanya mendapat keturunan". Kemudian beliau berhijrah ke Ras dengan ditemani oleh Tarjumanuddin Al-Qasim Bin Ibrahim Taba-taba, maka lahirlah di sana Isa dan di antara orang yang dilahirkan di sana ialah As-Sayyid Ahmad yang berpindah ke Hadramaut, maka di antara orang yang dilahirkan di sana ialah As-Sayyid Abil Jadid yang datang ke Aden pada zaman Almas'ud Bin Taghtakin Bin Ayyub Bin Syadi pada tahun 611 H. Kerana sesuatu hal maka Almas'ud murka kepada beliau lalu beliau ditangkapnya dan dibuang ke India. Kemudian setelah Almas'ud mati, beliau kembali ke Hadramaut".

Dari teks An-Nafhatul Ambariyyah diperolehi penjelasan bahawa keturunan Ahmad Bin Isa Bin Ali Al-Uraidhi di Hadramaut adalah dari keturunan Imam yang terkenal Ali Bin Muhammad Bin Jadid Bin Abdullah Bin Ahmad Bin Isa Bin Muhammad Bin Ali Bin Ja'far As-Sadiq.

Bahagian Ketujuh

An-Najafi , wafat pada abad ke-9 H.

Lihatlah pada kitab 'Bahrul Ansab' yang diberi nama 'Al-Musyajjarul Kasysyaf Li Usulis Sadatil Asyraf' karangan seorang pakar nasab Imam An-Najafi, di mana beliau menyebutkan pada muka surat 52 -- setelah ditambah oleh Azzabidi dan Rifa'i -- mengenai nasab As-Sayyid Abu Bakar Bin Hasan Bin Abi Bakar Bin Salim Bin Abdullah Bin Abdurrahman Bin Abdullah Bin Abdurrahman As-Seggaf Bin Muhammad Bin Ali Bin Alwi Bin Muhammad Bin Alwi Bin Ubaidillah Bin Ahmad Bin Isa Bin Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi Bin Ja'far As-Sadiq hingga ke akhir nasab.

Kitab Bahrul Ansab adalah kitab yang paling berharga di antara kitab-kitab nasab yang lain dan bertambah mutunya bila ia ditahqiq oleh As-Sayyid Muhammad Murtadha Azzabidi Al-Husaini yang wafat pada tahun 1205 H dan mempunyai beberapa karangan. Antara yang terpenting ialah Tajul 'Arus Bi Syarhil Qamus, yang mana setiap naskhah yang dicetak dari Bahrul Ansab mengandungi cop beliau. Kemudian diperkuat oleh As-Sayyid Husain Bin Muhammad Ar-Rifa'i Al-Hanafi, seorang ulama besar Azhar Syarif. Maka salasilah itu mengandungi seratus lebih salasilah dan kitab-kitab induk tarikh yang ditambah pada penghabisannya salasilah keluarga Bani Alawi.

Bahagian Kelapan

As-Sayyid Muhammad Sirajuddin wafat pada tahun 885 H.

As-Sayyid Muhammad Sirajuddin Bin As-Sayyid Abdullah Al-Qasim Bin As-Sayyid Muhammad Al-Huzam Ar-Rifa'i menyebutkan dalam kitabnya 'Sihahul Akhbar Fi Nasabis Sadah Al-Fatimiyyah Al-Akhyar' dicetak oleh percetakan Nukhbatul Akhyar di India tahun 1306 H yang mana beliau menyebutkan dalam muka surat 53 tentang anak-anak Isa Bin Muhammad Al-Uraidhi katanya, "Dan di antara anak-anaknya ialah Ahmad Bin Isa Bin Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi, di Yaman".

Teks ucapan ini sesuai dengan pendapat para penulis kitab-kitab sirah, nasab dan tarikh yang menyebutkan bab ini.

Bahagian Kesembilan

Imam As-Sakhawi ,wafat pada tahun 902 H.

As-Sakhawi menyebutkan dalam beberapa karangannya mengenai biografi Sadah Al-Alawi, di antaranya dalam kitab Bughyatul Rawi Biman Akhadza Anis Sakhawi dan kitab Ad-Dhaw'ul Lamik. Sebagai misal, kami kemukakan di sini salasilah seorang dari keluarga Bani Alawi yang telah ditulis biografinya dalam kitab Ad-Dhaw'ul Lamik juz 5 muka surat 59 yang mana beliau mengatakan pada biografi No. 220: Abdullah Bin Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ali Bin Alwi Bin Muhammad Bin Alwi Bin Muhammad Bin Ali Bin Ja'far As-Sadiq Bin Muhammad Al-Baqir Bin Zainal Abidin Ali Bin Al-Husain Bin Ali Bin Abi Talib, Al-Husaini Al-Hadrami wafat di Mekah dan dikubur di sana. Beliau digelar dengan As-Syarif Ba'Alawi, mempunyai banyak sifat-sifat kemuliaan seperti ilmu, kebaikan dan istiqamah hingga mendapat kepercayaan dari penduduk Mekah dan perjalanan beliau dari Hadramaut ke Al-Haramain selalu disebut-sebut oleh mereka, manakala tarikh wafat beliau iaitu pada tahun 886 di Mekah. Maka jelaslah dari kata-kata Imam As-Sakhawi dalam kitabnya yang menyebutkan susunan nasab Bani Alawi dengan teratur bahawa nasab ini tidak dapat dipertikaikan lagi, bahkan ia termasuk dari nasab-nasab yang diterima sebagai pokok pangkal keturunan Nabi Muhammad s.a.w. Adapun mengenai kedudukan ilmu dan penelitian As-Sakhawi yang enggan mengambil kecuali riwayat yang telah terbukti kebenarannya, tidak asing lagi bagi mereka yang berpengetahuan sekalipun sedikit.

Bahagian Kesepuluh

Abdullah Al-Jurjani , wafat pada tahun 974 H.

As-Sayed Jamaluddin Abdullah Al-Jurjani Bin Abil Barakat, ketua Jurjan menyatakan dalam Musyajjarah Al-Kasysyaf ketika menyebutkan tentang Abul Qasim Al-Abh katanya: Abul Qasim Al-Abh dikenal dengan sebutan Naffat (penjual minyak) kerana beliau berniaga minyak. Beliau mempunyai anak di Baghdad, iaitu Ibnu Abil Hasan Ad-Dallal putera Muhammad Bin Alil Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Isa Bin Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi.

Adapun Muhammad Bin Ahmad adalah saudara Ubaidillah Bin Ahmad iaitu datuk Sadah keluarga Ba'Alawi yang tinggal di Hadaramaut seperti yang anda lihat pada salasilah nasab dalam pembahasan ini.

Bahagian Kesebelas

Ibnu Hajar Al-Haithami , wafat pada tahun 974 H.

Al-Muhaddith Al-Hafiz Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haithami menyatakan dalam Mu'jam beliau, katanya, "Dan saya mempunyai tariqat yang tinggi kedudukannya, kerana masyaikh (guru-gurunya) dari awal hingga akhir berasal dari keturunan Ahlil Bait masing-masing meriwayatkan dari ayahnya". Lalu berkata lagi bahawa ia berasal dari Al-Qutub Abu Bakar Bin Ahmad As-Seggaf Bin Muhammad Bin Alwi Bin Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ali Bin Alwi Bin Muhammad Bin Alwi Bin Ubaidillah Bin Ahmad Bin Isa Bin Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi hingga berakhir pada Rasulullah s.a.w.

Bahagian Keduabelas

Ibnu Syaqdam, wafat pada akhir abad ke-11.

Seorang pakar nasab, Dhaamin Bin Syaqdam (47) menyebutkan dalam kitabnya Tuhfatul Azhar dan Zalalul Anhar tentang keturunan Jamaluddin Muhammad Bin Ali Al-Uraidhi katanya, "Jamaluddin Muhammad meninggalkan 2 orang anak; Hasan dan Syamsuddin Isa Ar-Rumi, dan dari keduanya mendapat 2 orang cucu.

Cucu kedua, iaitu putera Syamsuddin Isa Ar-Rumi Bin Jamaluddin Muhammad, anak digelar Ar-Rumi. Adapun Syamsuddin Isa meninggalkan 5 orang anak; Ishak Al-Ahnaf, Abu Turab Ali, Nizamuddin Ahmad Al-Abh, Abu Ahmad Muhammad dan Abul Husain Muhyiddin Al-Muhaddith.

Kemudian beliau menyebutkan beberapa rantaian nasab yang mana mata rantai ketiga disebutkan anak cucu Nizamuddin Ahmad, katanya; "Anak cucu Nizamuddin Ahmad Al-Abh Bin Syamsuddin Isa Ar-Rumi yang dikenal keturunannya dengan Bani Abh, beliau meninggalkan 3 orang anak, Abdullah, Muhammad dan Abul Hasan Ali Zainal Abidin".

Lalu disebutkan 3 jalur, pada jalur pertama disebutkan anak cucu Abdullah Bin Ahmad Bin Isa, dengan katanya; "Abdullah meninggalkan Alwi dan Basri".

Dan 2 ranting; ranting pertama menyebutkan anak Alwi, katanya; "Alwi meninggalkan Muhammad".

Adapun Muhammad adalah datuk Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad Bin Ali, yang mempunyai gelaran Al-Ustaz Al-A'zam dan Al-Faqih Al-Muqaddam, kerana beliau melebihi seluruh ulama Hadramaut pada zamannya, kemudian beliau wafat di Tarim pada tahun 653 H. Maka kepada beliau dinasabkan kebanyakan Sadah Bani Alawi.


Bahagian Ketigabelas

Al-Muhibbi, wafat pada tahun 1111 H.

Al-Muhibbi telah menulis biografi puluhan Sadah Bani Alawi dalam kitabnya Khulasatul Athar yang dicetak oleh Dar Sadir di Beirut. Dalam konteks ini cukup saya membawakan salasilah nasab seorang saja dari mereka yang tertulis biografinya dalam kitab tersebut yang dapat dijadikan coontoh bagi peribadi-peribadi yang lain, iaitu biografi As-Sayed Abu Bakar Bin Said Bin Abu Bakar Bin Abdul Rahman (Al-Jufri) Bin Al-Faqih Al-Muqaddam Abdullah Bin Alwi Bin Abu Bakar Bin Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Al-Ustaz Al-A'zam hingga ke akhir nasab.

Adapun kitab Khulasatul Athar hanya menyebut tokoh-tokoh abad ke-11 sahaja, kerana itu kami bawakan teks kitab itu untuk membuktikan kebenaran dan kemasyhuran nasab ini di seluruh penjuru bumi dan pada seluruh penulis dan penyusun dari kalangan orang-orang Hadramaut, Syria dan Mesir.

As-Sayed Abu Bakar Al-Jufri, dilahirkan di Qasam, Hadramaut, lalu berpindah ke Tarim untuk menuntut ilmu, kemudian ke Aynat, Sheher, Aden, Waht, Al-Haramain As-Syarifain dan akhirnya ke India. Beliau telah mengambil ilmu dari ulama-ulama terkenal negeri-negeri tersebut sehingga Al-Muhibbi memberikan sifat-sifat yang banyak kepada beliau. Kerana itu setiap orang yang menulis biografinya yang dikenal dengan nisbah kepada keturunan Rasulullah s.a.w. oleh para ulama (yang dijumpainya di beberapa buah negara dan para pendatang ke Al-Haramain As-Syarifain) tidak ada seorang pun yang mengingkari nasab beliau. Beliau meninggal di Tarim pada tahun 1088 H.

Bahagian Keempatbelas

Abu Muhammad Syamsuddin , Bin Muhammad Al-Atqa.

Seorang pakar nasab dan naqib, penjaga keturunan Ahli Bait, As-Sayed Abu Muhammad Syamsuddin Bin Muhammad Al-Atqa menyebutkan dalam kitabnya Nihayatul Ikhtisar (tulisan tangan), mengenai anak-anak Isa Al-Akbar, katanya; "Di antara anak Ahmad Bin Isa Al-Akbar ialah Abu Ja'far Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Isa Al-Akbar yang tinggal di Baghdad, yang kemudian hilang penglihatannya di masa tuanya dan tinggal bersama saudara-saudaranya di gunung".

PEMBAHASAN KETUJUH

KESEPAKATAN ULAMA HADRAMAUT, YAMAN DAN AL-HARAMAIN AS-SYARIFAIN TENTANG KEBENARAN NASAB BANI ALAWI

Ulama Hadramaut, Yaman dan Al-Haramain As-Syarifain telah bersepakat mengenai kebenaran nasab Bani Alawi yang bersambung kepada keturunan Rasulullah s.a.w. Mereka semuanya menyebutkan dalam tulisan-tulisan mereka tentang Bani Alawi dan memberikan catatan tentang biografi Bani Alawi dalam kitab-kitab yang mereka tulis dengan sempurna, bahkan sebahagian daripada mereka menulis secara khusus tentang peribadi-peribadi tertentu dalam karangan-karangannya. Tidak seorang pun mengata ketidaksahihan nasab mereka sama sekali, bahkan semuanya menerima nasab keluarga ini dengan penerimaan yang mutlak kerana pemberitaannya masyhur dan mutawatir, sehingga orang-orang yang hendak melemparkan cercaan kepada keluarga ini mereka tidak mengalamatkan cercaannya itu kepada nasab mereka, akan tetapi kepada kedudukan yang mereka peroleh di tengah-tengah masyarakat Hadramaut. Itu pun tidak dapat dijadikan pegangan kerana tidak mempunyai sumber yang kuat dari segi sejarah . Memandangkan banyaknya mereka yang menulis tentang Bani Alawi, kami anggap memadai dalam pembahasan ini dengan menyebutkan senarai nama-nama orang yang sempat kami temukan dalam beberapa kitab dan dalam perbahasan ini kami kami susun menurut tarikh wafatnya. Barangsiapa hendak meneliti kitab-kitab ini maka ia terdapat di seluruh perpustakaan awam dan khas sama ada di Hadramaut, Yaman, Al-Haramain As-Syarifain, Kuwait, Darul Kutub di Mesir atau perpustakaan manuskrip-manuskrip Arab.

NAMA-NAMA PENULIS DARI KALANGAN ULAMA HADRAMAUT, YAMAN DAN AL-HARAMAIN AS-SYARIFAIN DAN TARIKH WAFAT MEREKA

BIL.

NAMA KITAB

NAMA PENULIS

WAFAT
TAHUN H.

1.

Tabaqat Fuqahail Yaman

Bahauddin Abu Abdillah Muhammad Bin Yusuf Bin Ya'kub Al-Jundi

732

2.

Manaqib Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad Bin Ali Ba'Alawi dan Wafayat A'yanil Yaman

Abdul Rahman Bin Ali Hassan tinggal di Raidah Almasyqa Hadramaut

818

3.

At-Tuhfatun Nuraniyyah

Abdullah Bin Abdul Rahman Bawazir

850

4.

At-Tarfatu Gharbiyah Bi Akhbar Hadramaut Alajibah

Al-Maqrizi

845

5.

Tuhfatuz Zaman Fi Tarikh - Sadatil Yaman

As-Sayed Husain Bin Abdul Rahman Al-Ahdal

855

6.

Al-Jauharus Sayafaf Fi Fadhail Wa Manaqibis Sadah Al-Asyraf

Abu Muhammad Abdul Rahman Bin Muhammad Bin Abdul Rahman Sahibul Wa'al Al-Khatib Al-Ansari Al-Hadrami

855

7.

Tabaqatul Khawas Ahlis-Sidqi Wal Ikhlas

Ahmad Bin Ahmad Abdul Latif As-Syarji Az-Zubaidi Al-Yamani

893

8.

Al-Barqatul Masyiqah

Ali Bin Abu Bakar As-Sakran Bin Abdul Rahman As-Seggaf

895

9.

Mawahibul Qudrus Fi Manaqib Abu Bakar Bin Abdullah Alayidrus

Muhammad Bin Omar Bin Mubarak Al-Hadrami terkenal dengan sebutan Bahriq

930

10.

Tarikh Syambal

Ahmad Bin Abdullah Bin Alwi dikenal dengan Ibnu Syambal Al-Hadrami

945

11.

Tarikh Thaghri Adn Wa-Qalaidin Nahr

Muhammad At-Tayyib Ba-Makhramah

947

12.

Ghurarul Baha' Ad-Dhawi Wa Durarul Jamal Al-Badi' Al-Bahi

Muhammad Bin Ali Bin Alwi Khird Ba'Alawi At-Tarimi Al-Hadrami

960

13.

Al-Eqdun Nasbawi Fi Manaqib As-Sadah Al-Asyraf Bani Alawi

Sheikh Abdullah Bin Sheikh Bin Abdullah Alayidrus At-Tarimi Al-Hadrami penyair dan ahli sejarah sufi

990

14.

An-Nur As-Safir An-Akhbar Al-Qarnil Asyir

Abdul Qadir Bin Sheikh Bin Abdullah Bin Sheikh Bin Abdullah Alayidrus Al-Hadrami digelar Al-Hindi

1038

15.

As-Silsilah Alaydrusiyah

Sheikh Bin Abdullah Bin Sheikh Bin Abdullah Alayidrus Al-Hadrami At-Tarimi ahli Hadis, Ushul dan Fikah

1041

16.

Al-Masyra' Ar-Rawi Fi Manaqib As-Sadah Al-Kiram Ali Ba'Alawi dan As-Sana Al-Bahir Bitakmili An-Nur As-Safir Fi Akhbaril Qarnil Asyir

Muhammad Bin Abu Bakar Bin Ali As-Syalli

1093

17.

Nuskhatul Wujud Fi Akhbari Halil Wujud

Muhammad Bin Ahmad Mas'ud Bin Aqilah

1150

18.

Tuhfatul Muhibbin Wal Ashab Fi Makrifati Ma Lil-Madaniyyina Minal Ansab

Abdul Rahman Al-Ansari

1195

19.

Nubzat Latifah Tarifah Fi Silsilatin Nasabil Alawi Wal Far'ul Mutahhar Al-Mustaffawi

Zainal Abidin Bin Alawi Bin Hamd Jamalullail

1235

20.

An-Nafas Al-Yamani

Abdul Rahman Bin Sulaiman Al-Ahdal

1250

21.

Ittisalu Nasabil Alawiyyin Wal Asyraf Al-Husainiyyin Sibti Sayyidil Mursalin

Omar Bin Salim Bin Omar Al-Attas

1321

22.

Syamsud Dzahirah

As-Sayed Abdul Rahman Muhammad Bin Husain Al-Masyhur

1322

23.

Nasyrun Nuri Wazzahr Fi Tarajim Al-Qarnil Asyir Ilal Qarnir Rabi' Asyar

As-Sheikh Abdullah Murad Abul Khair

1343

24.

Mulhaq Al-Badrit Tali' Wa Nuzhatun Nazar Fi Rijalil Qarnir Rabi' Asyar

As-Sayed Muhammad Bin Muhammad Bin Yahya Ziyarah

1380

25.

Uqudul Almas Fi Manaqib Al-Habib Ahmad Bin Hassan Al-Attas

As-Sayed Alwi Bin Tahir Al-Haddad

1382

26.

Siyar Wa Tarajim Ba'dhi - Ulamana Fil Qarnir Rabi' Asyar

Omar Abdul Jabbar

1391

PEMBAHASAN KELAPAN

ORANG-ORANG YANG MENYEBUT NASAB AHLUL BAIT SECARA AM

Di kalangan para ahli tarikh, ahli nasab dan penulis-penulis tabaqat, sirah dan tokoh-tokoh kenamaan (dari kalangan ulama Islam) terdapat orang-orang yang mengambil berat akan anak turunan keluarga Nabi dengan membuat beberapa karangan tentang mereka dimulai dari abad pertama, kerana mereka melihat penderitaan dan tekanan yang dirasakan oleh Ahlul Bait pada zaman dua dinasti Umaiyah dan Abbasiyah dengan harapan supaya umat Islam yang terdiri dari berbagai golongan membela mereka dengan lidah dan pen-pen mereka, dan supaya kedudukan ilmu dimiliki oleh mereka seperti Al-Imam Ali Zainal Abidin dan kedua putera beliau Muhammad dan Zaid serta cucu beliau Ja'far As-Sadiq r.a. dan keturunannya sepanjang zaman benar-benar mendapat perhatian umat Islam. Oleh sebab itulah itrah (keturunan Muhammad s.a.w.) mendapat kelebihan dengan tersebut perkara-perkara mereka dalam berbagai kitab, sama ada oleh para ahli sejarah atau dalam kitab-kitab rijalul hadith, sirah dan tabaqat. Adalah sangat sulit untuk menyenaraikan orang-orang yang menulis tentang mereka dalam kitab-kitab dengan menyebut keperibadian mereka dan menyebut mereka dalam lembaran-lembaran karangan mereka. Atas dasar itu kami fikir perlu menyebutkan sebahagian kitab-kitab orang-orang yang menulis tentang Ahlul Bait dalam kitab-kitab mereka dalam pembahasan ini secara tersusun menurut tarikh wafat mereka dan mereka yang disebutkan itu bukan satu-satunya misal dan tidak pula merangkumi lainnya. Siapa yang hendak mengkaji lebih banyak dari kitab-kitab yang dikarang mengenai keluarga suci ini maka hendaknya ia membaca kitab "Mu'jamul Maudhu'at Al-Matruqah Fit Ta'lifil Islami Wa Bayanu Ma Ullifa Minha", tulisan As-Sayed Abdullah Muhammad Al-Habsyi, cetakan Ad-Darul Yamaniyah dan juga Kitab-Kitab Rijal, tulisan Az-Zahabi dan Ibnu Hajar dan lainnya.

KETERANGAN MENGENAI ULAMA YANG MENYEBUTKAN NASAB AHLUL BAIT SECARA AM SESUAI DENGAN TARIKH WAFAT MEREKA

BIL.

NAMA KITAB

NAMA PENULIS

WAFAT
TAHUN H.

1.

Ansab Quraish

Al-Mus'ab Az-Zubairi

226

2.

Tarikh At-Tabari

As-Syeikh Muhammad Bin Jarir At-Tabari

310

3.

Murujuz Zahab Wa Maadin Al-Jauhar

As-Syeikh Ali Bin Hassan Bin Ali Al-Mas'udi

346

4.

Sirrus Silsilah Al-Alawiyah

Sahal Bin Abdullah Al-Bukhari (pertengahan abad 14)

-

5.

Jamharah Ansabil Arab

Ibnu Hazm Al-Andalusi

450

6.

Ar-Risalah Al-Musammah Al-Anba' Ala Qabail Arruwah

Yusuf Bin Abdullah Bin Abdul Bar

461

7.

Al-Kamil Fit Tarikh

Ali Bin Ahmad Bin Abil Karam Al-Jauzi, Ibnul Athir Al-Juzri

630

8.

Siyar A'lamin Nubala'

Az-Zahabi

748

9.

Mir'atul Jinan

Abdullah Bin As'ad Al-Yafie

768

10.

Tahzibut-Tahzib Addurar Al-Kaminah Fi A'yan Miah As-Thaminah

Ibnu Hajar Al-Asqalani

852

11.

Jauharul Aqdain Fi Ansab Abna' Assibtain

Assamhudi

910

12.

Nukhbatuz-Zahrah As-Thaminah Fi Nasabi Asyrafil Madinah

Ali Bin Hasan Bin Syaqdam Al-Husaini

1033

13.

Syazaratuz Zahab

Ibnul Imad Al-Hanbali

1089

14.

Sabaikuz Zahab

As-Syeikh Muhammad Al-Amin Al-Baghdadi yang dikenal dengan Assuwaidi

1246

15.

Ghayatul Ikhtizar Fil Buyutat Al-Alawiyah

As-Sayed Abu Talib Taqiyyuddin An-Naqib

tidak
pasti

16.

Bayanul Ansab Wa Nasabut Talibiyah

Jaafar Bin Salman Abas Bin Abbas As-Sowi

tidak
pasti

17.

Al-Badrut Tali'

Muhammad Bin Ali Bin Muhammad As-Syaukani

1255

PEMBAHASAN KESEMBILAN

HUKUM-HUKUM KHAS BERKENAAN DENGAN AHLUL BAIT
(MEMPUNYAI 15 BAHAGIAN)

Syariah Islam mengkhaskan beberapa hukum semata-mata untuk Ahli Bait Nabi yang mana hukum-hukum itu telah dihimpun dan disusun dalam beberapa kitab fikah dan para penulisnya masing-masing membukukannya dalam kitab-kitab mereka lalu menghukum dengannya para penguasa, pemimpin dan kadi di seluruh zaman dan negeri. Tidak seorang pun yang membantah hukum-hukum yang semata-mata menjadi keutamaan Ahlul Bait ini. Oleh itu kami akan bawakan 15 bahagian untuk menerangkan pembahasan ini. Barangkali ada beberapa hukum yang tidak kami sebut di dalamnya kerana bukan menjadi tujuan kami menyebutkan keseluruhannya tetapi tujuan kami ialah untuk membuktikan beberapa kelebihan yang dimiliki oleh Ahli Bait Nabi dalam syariah Islam serta kedudukannya dalam syarak di mana ia dapat menentukan terhadap banyak perkara yang masih berada dalam lingkaran Islam atau keluar daripadanya.

Bahagian Pertama - Pilihan

Sejak Allah menciptakan makhluk-makhlukNya, Allah juga telah memilih Jibril dan Mikail dari seluruh malaikat sebagaimana Allah juga telah memilih Al-Haramain As-Syarifain dan Baitul Maqdis dari seluruh masjid, demikian juga Allah telah memilih bulan-bulan suci dan bulan Ramadhan dari segenap bulan, memilih hari Arafah dan Jumaat dari semua hari, memilih malam Lailatul-Qadar dari seluruh malam dan memilih para Rasul, Nabi, keluarga Imran dan keluarga Nabi Muhammad s.a.w. dari sekelian manusia di mana segala kekuasaan berada di tangan-Nya dan segala perintah berada pada-Nya, mengangkat siapa yang dikehendakki dan mencampakkan siapa yang dikehendaki, bagi-Nya segala urusan sebelum dan sesudah dan Allah Maha Berkuasa terhadap segala sesuatu.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an: "Allah memilih dari malaikat-malaikat menjadi utusan-utusan, dan (juga) dari manusia. Sesungguhnya Allah itu Maha mendengar dan Maha melihat".

Firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran, melebihi bangsa-bangsa".

Dan firman-Nya:"Yang satu adalah turunan dari yang lain dan Allah Maha mendengar dan Maha mengetahui".

Wathilah meriwayatkan sebuah hadis dari Al-Asqa' katanya: Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari turunan Ismail, memilih Quraish dari Kinanah, memilih Bani Hashim dari Quraish dan memilihku dari turunan Bani Hashim". Riwayat Muslim, Ahmad, Tirmizi dan Sam'ani.

Hukum yang dapat diambil dari ayat-ayat dan hadis di atas ialah bahawa Allah telah memilih beberapa kaum dari kaum-kaum yang lain, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala memilih Rasulullah s.a.w. dari turunan Sayidina Ibrahim, iaitu dengan memilih Bani Hashim dari Quraish, Quraish dari Kinanah dan Kinanah dari turunan Ismail. Maka beliau dan Bani Hashim adalah inti dari turunan keluarga Ibrahim dan telah kami terangkan pada bab-bab sebelumnya bahawa Ahlul Bait itu adalah turunan beliau. Oleh itu mereka terpilih dari kalangan Bani Hashim seperti Rasulullah s.a.w. juga dari Bani Hashim.


Bahagian Kedua - Mencintai Keluarga Muhammad Termasuk Dari Kesempurnaan Iman

1. Hanya Ahli Bait Nabi s.a.w. saja yang diwajibkan kepada umat Islam mencintainya kerana Allah dan Rasul-Nya. Para ulama telah menetapkan hukum ini dalam kitab-kitab dan karangan-karangan mereka dalam bab itu berdasarkan sabda Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Abdul Muttalib Bin Rabi'ah Bin Al-Harith Bin Abdul Muttalib bahawa Al-Abbas Bin Abdul Muttalib r.a. mendatangi Rasulullah s.a.w. dalam keadaan marah sedang saya berada di sisi baginda maka Rasulullah bertanya: "Apa gerangan yang menjadikan kamu marah?". Dijawab, "Ya Rasulullah apa salah kami, mengapa orang-orang Quraish bila bertemu dengan sesama mereka dengan muka manis dan bila bertemu dengan kami tidak demikian?". Lalu marahlah Rasulullah s.a.w. sehingga merah wajahnya kemudian bersabda: "Demi jiwaku yang berada dalam kekuasaan-Nya, iman itu tidak akan masuk ke dalam hati seseorang sehingga ia mencintai kamu kerana Allah dan Rasul-Nya", seterusnya sabda baginda: Wahai sekelian manusia, siapa mengganggu bapa saudaraku maka telah menggangguku kerana bapa saudara seseorang itu setaraf dengan ayahnya". Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi dan Al-Hakim yang mengatakan hadis hasan sahih riwayat Ahmad dan Al-Hakim serta riwayat yang serupa dari Ibnu Majah dari jalur Muhammad Bin Ka'ab Al-Qardhi dari Al-Abbas r.a. Kemudian Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujah dengan hadis ini yang sengaja tidak kami sebut supaya tidak terlalu panjang.

  1. Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadis yang telah disahihkan dan diikuti oleh Az-Zahabi dengan dua jalur kepada Hisham Bin Yusuf dengan sanadnya kepada Ibnu Abbas r.a. katanya: Telah bersabda Rasulullah s.a.w.: "Cintailah Allah kerana nikmat yang telah dikurniakan kepada kamu, cintailah aku kerana cintamu kepada Allah dan cintailah Ahli Baitku kerana cintamu padaku." Berkata Al-Hakim: "Hadis ini sahih sanadnya sekalipun tidak diriwayatkan oleh keduanya tetapi disahihkan oleh Tirmizi". Kata Az-Zahabi; ia sahih dan disahihkan pula oleh Al-Hafiz As-Sakhawi, Ibnu Hajar Al-Makki, Al-Azizi dan selainnya.
  2. Al-Baihaqi menyebutkan dalam sunannya dan begitu juga yang lain sebuah hadis yang berbunyi: "Tidak beriman seorang hamba sehingga menjadikan aku lebih dicintai dari dirinya, menjadikan turunanku lebih dicintai dari turunannya dan zatku lebih dicintai dari zatnya sendiri". Diriwayatkan oleh At-Tabarani dari Abdul Rahman Bin Abi Laila dari ayahnya.
  3. At-Tabarani menyebutkan dalam Mu'jam Al-Kabirnya bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Siapa yang mencintai kami kerana keduniaan maka ia akan dicintai oleh pemilik sama ada ia baik atau jahat, dan siapa mencintai kami kerana Allah maka dia dengan kami laksana ini (Baginda s.a.w. menunjukkan dari telunjuk dan jari tengahnya)". Al-Hasan Bin Ali r.a. berkata: Telah bersabda Rasulullah s.a.w.: "Siapa mencintai suatu kaum kelak Allah himpun dia bersama-sama golongannya". Disebut oleh At-Tabarani dalam kitab Al-Kabir dari Ibnu Qursafah. Kemudian sabda baginda s.a.w.: "Siapa mencintai Al-Hasan dan Al-Husain maka sungguh ia mencintaiku dan saipa membencinya maka sungguh ia telah membenciku". Riwayat Ibnu Majah, Ahmad dan Al-Hakim dari Abu Hurairah r.a.
  4. Al-Abbas Bin Abdul Muttalib berkata: Telah bersabda s.a.w.: "Mengapa kaum-kaum yang berbincang itu tiba-tiba menghentikan pembicaraannya bila melihat salah seorang dari Ahli Baitku? Demi jiwaku yang berada dalam kekuasaan-Nya sesungguhnya iman tidak akan masuk ke dalam hati seseorang sehingga ia mencintainya (Ahli Baitku) kerana Allah dan kerana mereka itu kerabat aku", riwayat Ibnu Majah, Al-Hakim, Ar-Rawiyani, At-Tabarani dan Ibnu Asakir.
  5. Ali Bin Abi Talib k.w. berkata: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Didiklah anak-anak kamu diatas tiga perkara: mencintai nabimu, mencintai Ahli Baitnya dan membaca Al-Qur'an kerana pembawa-pembawa Al-Qur'an itu berada dalam lindungan Allah di Hari Kiamat pada hari dimana tiada perlindungan melainkan lindungan-Nya bersama para Nabi dan orang-orang pilihan-Nya". Diriwayatkan oleh Ad-Dailani dalam Musnad Al-Firdaus, Abu Nasr Abdul Karim As-Syirazi dalam Fawa'idnya dan Ibny An-Najjar.

As-Syafi'e berkata dalam Diwannya muka surat 72 cetakan As-Sya'biah Beirut:

Wahai keluarga Rasulullah!, mencintaimu adalah suatu kewajiban yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur'an yang telah diturunkan-Nya".

Cukup menjadi suatu kemuliaan bagimu bahawa siapa yang tidak berselawat padamu maka tidak sah solatnya.

Bahagian Ketiga - Mendahulukan Mereka Dalam Solat Ke Atas Yang Lainnya

Ahlul Bait mendapat keistimewaan dalam hukum fikah, yang mana jika terdapat persamaan di antara seseorang dengan yang lain dari segi ilmu dan bacaan, maka hendaknya diutamakan As-Sayyid Al-Hasyimi keatas yang lain kerana kelebihan yang ada padanya iaitu kemuliaan hubungan nasabnya kepada Rasulullah s.a.w. dimana Imam Nawawi menyebutkan dalam kitab Al-Majmuk tentang sebab-sebab yang membolehkan seseorang maju untuk menjadi imam dengan 6 perkara: Fikah (berilmu), Bacaan, Warak, Usia Nasab dan Hijrah.

Adapun dasar yang digunakan dalam hal ini ialah sabda Nabi s.a.w.: "Manusia itu mengikuti Quraish dalam perkara ini, orang-orang Islam mengikuti mereka yang muslim dan orang-orang kafir mengikuti mereka yang kafir", riwayat Imam Muslim Ahmad dan Baihaqi.

Sabda Nabi s.a.w.: "Dahulukan orang-orang Qurarish dan jangan kamu mendahului mereka, belajarlah dari orang-orang Quraish dan jangan kamu mengajari mereka dan jikalaulah aku khuatir mereka menjadi sombong nescaya aku beritahukan kedudukan orang-orang yang baik dari kalangan mereka di sisi Allah Ta'ala". diriwayatkan oleh At-Tabarani dalam kitab Al-Kabir dan Ibnu Adi.

Imam Syafi'e dan Al-Baihaqi meriwayatkan hadis yang sama dalam Masrafah, demikian jugaAl-Bazzar dari Imam Ali k.w.

Adapun hadis yang diriwayatkan Ibu Abi Syaibah dengan sanadnya yang sahih dari Salaman r.a. bahawa pada suatu hari telah masuk waktu solat, maka disuruhnya maju (menjadi imam), maka dijawab: "Aku tidak patut maju selagi masih kamu orang-orang Arab yang mana daripadamulah diutus Nabi s.a.w.". Dalam riwayat lain: "Kamu adalah Bani Ismail yang menjadi para imam dan kami menteri-menteri". Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, pengikut-pengikut Syafi'e dan Ahmad berhujah dengan hadis ini bahawa ia merupakan suatu kemuliaan yang melayakkan seseorang maju (menjadi imam) dalam solat. Kemudian Ensiklopedia Fikah menyatakan dalam perkara Aali pada pembahasan 16 yang bunyinya: "Jika mereka mempunyai persamaan dengan lainnya dalam sifat-sifat maka dahulukanlah mereka menurut kemuliaan nasabnya".

Bahagian Keempat - Selawat Dan Salam Keatas Keluarga Nabi Didalam Dan Diluar Solat

Ahlul Bait dan zuriatnya serta isteri-isteri Nabi s.a.w. mendapat kelebihan dengan selawat keatas mereka selepas Nabi s.a.w. didalam dan diluar solat. Dalilnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ka'ab Bin Ujrah r.a. katanya: "Telah keluar menemui kami Rasulullah s.a.w. lalu kami bertanya, kami telah faham dan tahu bagaimana kami mengucapkan salam padamu, namun bagaimana cara kami berselawat padamu? Baginda menjawab: "Katakan, Allahumma Salli Ala Muhammad Wa Ala Aali Muhammad Kama Sallaita Ala Ibrahim Innaka Hamidun Majid". riwayat Bukhari dan Muslim.

Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hamid As-Saidi r.a. bahawasanya mereka bertanya: Ya Rasulullah! Bagaimana cara kami berselawat padamu", dijawab: "Katakan: Allahumma Salli Ala Muhammad Wa Ala Azawajihi Wa Zurriyati Kama Sallaita Ala Aali Ibrahim Wa Baarik Ala Muhammad Wa Ala Aali Azwajihi Wa Zurriyati Kama Batakta Ala Aali Ibrahim Innaka Hamidun Majid", riwayat Bukhari dan Muslim.

Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya Al-Majmuk Syarah Al-Muhazzab, sayugianya dihimpun apa yang terkandung dalam hadis-hadis yang sahih itu sehingga ia mengatakan, Allahumma Salli Ala Muhammad Abdika Wa Rasulikan Nabi Al-Ummi Wa Ala Aali Muhammad Wa Azwajihi Wa Zurriyatihi Kama Sallaita Ala Ibrahim Wa Ala Aali Muhammad Wa Azwajihi Wa Zurriyatihi Kama Barakta Ala Ibrahim Wa Ala Aali Ibrahim Fil Alamina Innaka Hamidun Majid.

Imam Nawawi juga menyebutkan tentang definasi Aali bahawa mereka itu adalah Bani Hashim dan Bani Abdul Muttalib seperti dinyatakan juga oleh Syafi'e dalam Harmalah dan dikutip oleh Al-Azhari bahawa Aali adlah turunan yang dinasabkan kepada baginda s.a.w. Mereka itu ialah anak-anak Fatimah r.a. dan turunannya sepanjang masa. Lihat kitab Al-Majmuk Syarah Al-Muhazzab juz 3.


Bahagian Kelima - Ahlul Bait Haram Menerima Zakat

Diharamkan memberi zakat kepada Ahlul Bait berdasarkan riwayat Abu Hurairah f.a. katanya: Al-Hasan Bin Ali r.a. sewaktu masih kecil telah mengambil sebiji tamar dari tamar sedekah lalu memasukkannya ke dalam mulutnya, maka Nabi s.a.w. mengatakan kepadanya (kakh... kakh) supaya ia memuntahkannya, kemudian baginda bersabda: "Tidakkah kamu ketahui bahawa kami tadak memakan sedekah?", Al-Bukhari, Ahmad dan Ad-Darimi.

Hadis kedua, dari Al-Muttalib Bin Rabiah Bin Al-Harith Bin Abdul Muttalib bahawa ia dan Al-Fadal Bin Al-Abbas r.a. telah pergi menemui Rasulullah s.a.w. katanya: Seorang dari kami berkata: "Ya Rasulullah, kami datang kepadamu supaya kami dilantik menjadi pengurus zakat ini agar kami mendapat manfaat daripadanya sebagaimana orang lain mendapatkannya dan kami menyerahkan padamu apa-apa yang diserah orang. Baginda menjawab: "Sesungguhnya sedekah/zakat itu tidak boleh diterima oleh Muhammad dan tidak pula oleh keluarganya, kerana ia adalah barang-barang kotor yang ditinggalkan oleh orang", dalam lafaz lain: Ia diharamkan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad". Hadis ini disebut dalam kitab Al-Muntaqa, riwayat Muslim dan Ahmad.

Bahagian Keenam - Ahlul Bait Berhak Menerima Seperlima Dari Khumus Faik Dan Ghanimah

Ahlul Bait mendapat keistimewaan dalam hukum syarak kerana mereka berhak menerima khumus (seperlima) dari khumus faik (harta rampasan), ghanimah dan rikaz berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, supaya itu jangan hanya beredar di linkungan orang-orang yang mampu diantara kamu. Apa yang diberikan oleh Rasul kepada kamu, hendaklah kamu terima dan apa yang dilarangnya, hendaklah kamu hentikan. Dan patuhlah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu amat keras hukum-Nya".(Al-Hasyr:7).

Dan firman Allah Ta'ala: "Dan hendaklah kamu ketahui, bahawa apa-apa yang dapat kamu rampas dalam peperangan, sesungguhnya seperlima untuk Allah, untuk Rasul, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan". (Al-Anfal:41).

Adapun dalil dari sunnah ialah riwayat Al-Imam Ali k.w., katanya: Aku, Al-Abbas, Fatimah dan Zaid Bin Harithah telah berkumpul di sisi Nabi s.a.w. lalu aku mengatakan: Ya Rasulullah! Jika engkau tiada halangan melantikku sebagai pengurus hak kami dari khumus yang telah ditetapkan dalam kitab Allah Ta'ala ini supaya dapat aku membahagikannya semasa hidupmu agar tidak ada orang yang menentangku selepasmu nanti maka hendaknya engkau laksanakan. Maka baginda bersetuju melaksanakannya dan aku membahagikannya semasa hidup Rasulullah s.a.w. Kemudian Abu Bakar pun melantikku sehingga tiba tahun terakhir pemerintahan Omar yang mana beliau telah banyak menerima harta, riwayat Ahmad dan Abu Daud. Abu Daud menambah setelah kata beliau, "Beliau telah banyak menerima harta (dengan lafaz) lalu beliau membatalkan hak kami dan kemudian menghartanya padaku maka aku katakan bahawa kami tidak memerlukannya namun orang-orang Islam berhajat kepadanya dan aku bermaksud mengembalikan kepada mereka. Akhirnya tidak seorang pun meminta kami berbuat demikian selepas ketentuan Omar maka aku bertemu dengan Al-Abbas". Setelah aku keluar dari tempat Omar seraya berkata, "Ya Ali! Hak kami telah dirampas sama sekali dan tidak akan pernah dikembalikan kepada kami". Begitu kata Al-Abbas seorang yang bijak.

Adapun Yazid Bin Hurmuz meriwayatkan bahawa Najdah telah menulis surat kepada Ibnu Abbas menanyakan tentang siapa yang berhak mendapatkan khumus itu? Ibnu Abbas membalas suratnya dengan mengatakan, "Engkau bertanya tentang siapa berhak menerima khumus, ketahuilah bahawa ia adalah hak kami yang telah diingkari oleh kaum kami", riwayat Muslim dan Ahmad.

Imam Ahmad mengatakan dalam musnadnya bahwa dua orang khalifah Omar dan Othman r.a. ada memberi kerabat Rasulullah s.a.w. demikian juga pendapat Imam Syafi'e dan Imam-Imam yang lain (lihat kitab Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah dan Nailul Awtar).

Bahagian Ketujuh - Syarat Kafaah Dalam Nikah

Wanita Arab khasnya wanita-wanita Ahlul Bait mendapat keistimewaan dengan memperhatikan syarat nasab dalam nikahnya, yang mana seorang wanita dari Bani Hashim tidak akan menikahi kecuali lelaki, dari Bani Hashim. Begitulah pendapat Jumhur, diantaranya: Abu Hanifah, Ahmad dan Syafi'e r.a. dan dalil mereka dalam hal itu ialah hadis dari Amirul Mukminin Omar Bin Al-Khattab r.a. katanya: "Aku akan melarang wanita-wanita dari keturunan yang mulia menikah melainkan dengan lelaki-lelaki yang setaraf dengannya". Diriwayatkan oleh Ad-Daraqutni. Imam Ahmad berkata selain bangsa Quraish dari kalangan Arab tidak ada yang menyamainya dan selain Bani Hashim tidak ada yang menyamainya, inilah pendapat golongan Syafi'e berdasarkan riwayat Wathilah Bin Al-Asqa' bahawa ia berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari keturunan Ismail, memilih Bani Hashim dari keturunan Quraish dan memilihku dari keturunan Bani Hashim", diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Tirmizi dan Sam'ani.

Lihatlah kitab Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah, Al-Majmuk Syarhul Muhazzab, Nailul Awtar dan kitab Al-Ahwal As-Shakhsiyyah fit Tasyri' Al-Islami karangan Ahmad Al-Ghandur.

Bahagian Kelapan - Doa Nabi s.a.w. Dengan Keberkatan Pada Turunan Yang Suci Ini

Ahlul Bait mendapatkan keistimewaan dengan memperoleh doa khas dari Rasulullah s.a.w. supaya Allah memberkati turunan mereka. Sedangkan barakah secara umum mempunyai pengertian; banyak, baik dan lain-lain. Dalilnya ialah riwayat Nasa'i, dalam bab amalan sehari semalam bahawa sekumpulan dari orang-orang Ansar mengatakan kepada Ali r.a., alangkah baiknya kalau kamu memiliki Fatimah. Lalu beliau r.a. mendatangi Rasulullah s.a.w. untuk meminangnya. Setelah mengucapkan salam beliau ditanya oleh Rasulullah s.a.w.: "Apa hajatmu wahai putera Abi Talib?" Jawab beliau, "Aku hendak melamar Fatimah puteri Rasulullah s.a.w." Rasul menjawab: "Marhaban Wa Ahlan" dan tidak berkata apa-apa lagi. Maka Ali keluar menemui sekumpulan orang-orang Ansar yang sedang menunggunya. Mereka bertanya, "Berita apa yang kau bawa?" Ali menjawab, "Aku tidak tahu kerana baginda hanya mengatakan kepadaku, Marhaban Wa Ahlan". Lalu mereka membalas, "Seandainya Rasulullah s.a.w. hanya mengatakan satu perkataan, itu pun sudah memadai bagimu, sesungguhnya baginda telah menjadikanmu sebagai keluarga dan memperkenankan permintaanmu". Setelah semuanya berlalu dan baginda mengahwinkan Ali, kemudian baginda berkata, "Ya Ali! Untuk majlis perkahwinan diperlukan walimah" Saad r.a. berkata, "Aku mempunyai seekor domba dan kaum Ansar mengumpulkan segantang jagung". Setelah tiba malam perkahwinan, Rasulullah s.a.w. berkata, "Jangan kamu bercakap sesuatu sehingga engkau menemuiku". Lalu baginda meminta air dan berwuduk dengannya, lalu menyiramkan air itu ke atas Ali dan Fatimah r.a. dan berdo'a: "Ya Allah berkatilah pada keduanya, berkatilah keatas keduanya dan berkatilah keturunan keduanya". Diriwayatkan oleh Nasa'i dan lain-lain dengan membuang sebahagiannya.

Bahagian Kesembilan - Ahlul Bait Penyelamat Penghuni Bumi

Ahlul Bait mendapatkan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh selain mereka dengan satu hukum syarak, iaitu keberadaan mereka di dunia ini adalah merupakan penyelamat bagi penghuni bumi, laksana bintang-bintang yang menjadi penyelamat bagi penghuni langit. Adapun titik persamaan diantara keduanya ialah mengambil petunjuk dari orang-orang yang saleh dari kalangan mereka, yang demikian itu diterangkan dalam beberapa hadis berikut:-

  1. Salamah bin Al-Akwa' berkata: Telah bersabda Rasulullah s.a.w.: "Bintang-bintang itu adalah penyelamat bagi penghuni langit sedangkan Ahli Baitku menjadi penyelamat bagi penghuni bumi". Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam Musnadnya, Ibnu Syaibah, Musadad, Al-Hakim, At-Tabarani dalam Al-Kabirnya dan Ibnu Asakir.
  2. Sabda Nabi s.a.w., "Bintang-bintang itu menjadi penyelamat kepada penghuni bumi dari tenggelam/karam sedangkan Ahli Baitku menjadi penyelamat kepada umatku dari perselisihan (dalam agama) apabila satu kabilah dari orang Arab menentangnya (hukum-hukum Allah A.W.J.) mereka berselisih dan menjadi golongan syaitan". Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Ibnu Abbas dan disahihkan oleh Tirmizi.
  3. Sabda Nabi s.a.w. dari Abu Zar r.a. katanya: "Ketahuilah bahawa perumpamaan Ahli Baitku di tengah-tengah kamu seperti bahtera Nuh di tengah-tengah kaumnya, siapa yang menaikinya ia selamat dan siapa yang enggan pasti tenggelam". Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Hakim, Ibnu Jarir dan At-Tabarani dalam kitab Al-Kabir.

Bahagian Kesepuluh - Orang Yang Mahu Mendapat Tempat Di Sisi Rasulullah s.a.w. Di Hari Kiamat

Rasulullah s.a.w. memberi keistimewaan kepada Ahli Baitnya diatas segala keistimewaan yang diberikan kepada seluruh kaum muslimin, yang mana beliau s.a.w. akan memberi balasan kepada orang yang berbuat baik kepada tiap-tiap orang Islam pada hari kiamat dan kepada Ahli Baitnya akan dibalas dengan balasan yang besar yang akan diterangkan dalam beberapa hadis berikut:

  1. At-Tabarani meriwayatkan sebuah hadis: "Barangsiapa berbuat baik kepada seorang dari anak keturunan Abdul Muttalib sedang ia belum membalasnya di dunia, maka aku akan membalasnya kelak apabila ia bertemu denganKu".
  2. Ibnu Asakir meriwayatkan dari Al-Imam Ali k.w., katanya telah bersabda Rasulullah s.a.w.: "Siapa berbuat jasa kepada Ahli Baitku, aku akan membalasnya kelak pada hari kiamat".
  3. Ad-Dailami meriwayatkan dari Al-Imam Ali k.w., katanya: "Empat golongan yang akan mendapatkan syafa'atku pada hari kiamat; orang yang memuliakan zuriatku, orang yang menunaikan hajat mereka, orang yang mengusahakan urusan-urusan mereka disaat mereka mendapat kesulitan dan orang yang mencintai mereka dengan hati dan lidahnya".

Bahagian Kesebelas - Ketentuan Ahlul Bait Masuk Syurga

Ahlul Bait yang meninggal dunia dalam keadaan iman tidak diazab dan tidak dimasukkan ke dalam neraka tetapi dimasukkan ke dalam syurga oleh Allah Ta'ala kerana firman-Nya: "Dan orang-orang beriman dan turunan mereka turut pula beriman, nanti mereka akan Kami pertemukan dengan turunannya itu, dan tiada Kami kurangi amal mereka barang sedikit pun". (At-Tur:21).

Ahlul Bait yang merupakan zuriat nabi, iaitu Al-Imam Ali, Fatimah Az-Zahra', Al-Hasan dan Al-Husin, mereka itu tergolong dari ahli syurga berdasarkan dalil-dalil qat'ie (kuat), adapun orang-orang yang diberitahu akan masuk syurga dari sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. maka zuriat mereka akan menyertai mereka di dalam syurga sebagaimana ditegaskan oleh para ulama berdasarkan kata-kata Ibnu Abbas r.a. yang sahih dalam menafsirkan firman Allah: "Kami pertemukan mereka dengan turunannya", bahawa sesungguhnya Allah mengangkat zuriat seorang mukmin untuk disejajarkan dengan darjatnya pada hari kiamat, sekalipun amalnya di bawah orang itu.

Beliau juga menafsirkan firman Allah:

"Dan adalah ayah mereka berdua seorang yang saleh" iaitu demi memelihara kebaikan orang tua mereka dan kebaikan yang ada pada mereka berdua.

Said Bin Jubair berkata: "Seorang masuk syurga dan bertanya, dimana ayahku? dimana ibuku, dimana anakku dan dimana isteriku?" Lalu dijawab kepadanya: "Sesungguhnya mereka tidak beramal seperti kamu", tetapi dijawab, dahulu aku mula beramal untukku dan untuk mereka, maka kemudian dikatakan kepada mereka, masuklah kamu semua ke dalam syurga (lihat tafsir Ibnu Kathir). Kemudian beliau membaca firman Allah Ta'ala: "Syurga Adn, mereka masuk ke dalamnya, dan juga orang-orang yang baik dari bapa-bapa mereka, dan isteri-isteri (suami-suami) mereka serta turunan mereka"). (Surat Ar-Ra'ad:23

Ibnu Mas'ud berkata: Telah bersabda Rasulullah s.a.w., Sesungguhnya Fatimah telah memelihara kehormatannya, lalu Allah haramkan neraka baginya dan anak-anaknya". Disebut oleh Al-Bazzar, Abu Ya'la dan At-Tabarani dalam kitab Al-Kabir.

Dan dari Imran Bin Husain katanya: telah bersabda Rasulullah s.a.w.: "Aku mohon dari Allah Ta'ala agar tidak seorang pun dari Ahli Baitku dimasukkan ke dalam neraka, lalu Allah memperkenankannya". Diriwayatkan oleh Abul Qasim Bin Bisyran dalam kitab-kitab amalinya.

Bahagian Keduabelas - Boleh Melaknat Dan Mengkafirkan Orang Yang Menodai Kesucian Ahlul Bait

Para ulama telah menyatakan tentang bolehnya seseorang melaknat sesiapa yang menodai sesuatu dari kesucian Ahlul Bait berdasarkan beberapa hadis yang akan kami sebutkan dalam bab ini. Walaupun hanya dua hadis namun kami rasa memadai untuk itu dan ini juga menunjukkan pengkhususan Ahlul Bait dengan hukum ini dalam syariah Islamiah.

Hadis pertama: dari Ibnu Abbas r.a. katanya: Telah bersabda Rasulullah s.a.w. "Membenci Bani Hashim dan Ansar adalah kufur dan membenci orang Arab adalah nifaq". Dinyatakan oleh At-Tabarani dalam kitab Al-Kabir.

Hadis kedua diriwayatkan oleh Ali Bin Abi Talib r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Aku melaknat enam golongan yang juga mereka dilaknat oleh Allah dan setiap nabi yang diutus, iaitu orang yang menambah dalam kitab Allah dan orang yang mendustakan takdir Allah dan setiap orang yang mendustakan takdir Allah, orang yang berkuasa dengan kejam, menghina orang yang dimuliakan oleh Allah A.W.J. dan memuliakan orang yang dihina oleh Allah A.W.J., orang yang meninggalkan sunah ku, orang yang menghalalkan apa-apa yang diharamkan dan sesuatu terhadap keluargaku oleh Allah A.W.J." Diriwayatkan oleh Al-Hakim Ad-Darauqutni, Ad-Dailami dan Al-Khatib dalam kitab Al-Jamek.

Adapun kufur dalam hal ini bukanlah bererti kufur yang menjadikan seseorang keluar dari agama seperti mereka yang tidak menghukum dengan ketentuan Allah, tetapi ia dibawah kadar kufur itu, begitulah Ibnu Abbas r.a. memberi penjelasan. Wallahu A'lam.

Bahagian Ketigabelas - Larangan Membenci Ahlul Bait Nabi s.a.w.

Para ulama telah menyebutkan satu hukum yang dikhaskan kepada Ahlul Bait, iaitu, haram membencinya dan siapa yang membencinya akan dimasukkan ke dalam neraka berdasarkan sabda Nabi s.a.w. dalam beberapa hadis berikut:

  1. Abdullah Bin Abbas r.a. meriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Wahai Bani Abdul Muttalib, aku telah memohon daripada Allah untukmu tiga perkara; hendaknya Allah menetapkan penegakmu, memberi petunjuk kepada yang sesat dan memberi ilmu kepada yang jahil diantara kamu. Dan aku juga memohon daripadaNya supaya menjadikanmu pemurah, berani, membantu dan penyayang. Seandainya seseorang berdiri di barisan antara rukn dan maqam (menunaikan haji), mengerjakan solat dan berpuasa kemudian menghadap Allah dalam keadaan membenci terhadap Ahlul Bait Muhammad maka pasti ia masuk neraka". Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan berkata hadis ini sahih menurut syarat Muslim tetapi tidak diriwayatkannya dan ditetapkan oleh Az-Zahabi.
  2. Dari Abu Said Al-Khudri r.a. dari Rasulullah s.a.w. bersabda: "Siapa yang membenci kami maka ia munafik". Diriwayatkan oleh Ad-Dailami.
  3. Dari Abu Said Al-Khudri r.a. katanya; telah bersabda Rasulullah s.a.w. "Demi jiwaku yang berada dalam kekuasaanNya sesungguhnya seseorang tidak membenci kami, Ahlul Bait melainkan Allah akan memasukkan mereka ke dalam neraka", Diriwayatkan oleh Al-Hakim. Farazdaq berkata, 'Mencintai mereka adalah sebahagian besar dari ajaran agama, membencinya adalah kufur dan mendekatinya adalah tempat bernaung dan berlindung'.
  4. Dari Abu Ibnu Abbas katanya, Rasulullah s.a.w. bersabda: "Siapa ingin hidup seperti hidupku, mati seperti matiku dan menempati syurga Adn yang disediakan oleh tuhanku, maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai pemimpinnya selepasku, menjadikan walinya sebagai pemimpinnya dan mengikuti jejak Ahlil Baitku selepas aku, kerana mereka itu itrahku (anak cucuku), mereka diciptakan dari kejadianKu dan diberi pengertian dan ilmuku, maka Neraka Wail bagi umatku yang mengingkari keutamaan meraka, yang memutuskan hubunganku dengannya dan kelak Allah tidak memberi mereka Syafaatku". Diriwayatkan oleh At-Tabarani dan Ar-Rafi'e

SALASILAH HINGGA HARI INI

Bahagian Keempatbelas - Larangan Mengganggu Keluarga Rasulullah s.a.w.

Satu hukum syarak yang juga khas mengenai Ahli Baitnya Rasulullah s.a.w. ialah larangan mengganggu mereka kerana mereka itu zuriat Rasulullah s.a.w. Siapa yang mengganggu mereka kerana keturunannya maka ia telah mengganggu Rasulullah s.a.w., dalilnya ialah seperti berikut:

  1. "Sesungguhnya orang-orang yang mencaci Allah dan RasulNya maka Allah akan mengutuk mereka di dunia dan di akhirat dan akan menyediakan untuk mereka seksaan yang penuh dengan kehinaan. Dan orang-orang yang mencela kaum lelaki dan perempuan yang beriman, dengan ketiadaan kesalahan yang diperbuat mereka, sesungguhnya orang-orang itu telah memikul kebohongan dan dosa yang terang".
  2. Sabda Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Almiswar Bin Makhramah r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Fatimah adalah sebagian dariku, siapa yang memurkakannya ia telah memurkakan aku". Diriwayatkan oleh Bukhari.
  3. Dari Ibnu Zubair r.a. bahawa Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Fatimah adalah sebahagian daripadaku, menyiksa aku apa-apa yang menyiksanya dan menyusahkan aku apa-apa yang menyusahkannya". Diriwayatkan Ahmad, Tirmizi dan Al-Hakim.

Saya berpendapat bahawa zuriat Fatimah adalah sebahagian daripadanya, siapa yang mengganggunya ia telah mengganggu Farimah dan siapa mengganggu Fatimah ia telah mengganggu Rasulullah s.a.w.

  1. Sabda beliau s.a.w.: "Siapa yang mengganggu keluargaku walaupun sehujung rambut sekalipun, maka ia telah menggangguku dan siapa menggangguku maka ia telah mengganggu Allah". Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Al-Imam Ali r.a.
  2. Sabda beliau s.a.w. dalam hadis puteri Abu Lahab ketika dikatakan kepadanya sesaat ia berhijrah bahawa hijrahmu tidak memberi manfaat apa-apa kepadamu kerana kamu adalah puteri kayu api neraka, maka marahlah Rasulullah s.a.w. setelah mendengarnya lalu berkhutbah di atas mimbarnya: "Mengapa masih ada sebilangan kaum yang mengganggu nasab dan keluargaku? Ketahuilah siapa mengganggu nasab dan keluargaku maka ia telah menggangguku dan siapa menggangguku maka ia telah mengganggu Allah". Diriwayatkan oleh Ibnu Abil Asim, Tabarani dan Baihaqi dengan lafaz yang hampir sama.

Bahagian Kelimabelas - Hukum Orang Yang Mencerca Ahlul Bait

Satu ketentuan khas kepada Ahlul Bait bahawa siapa yang mencerca atau memakinya sama hukum seperti mencerca seluruh manusia. Dalil yang dipergunakan oleh para ulama untuk menetapkan hal itu ialah ijmak 'fuqaha' mazhab-mazhab yang menyatakan bahawa siapa mencerca seorang dari keluarga Rasulullah s.a.w. maka hukumnya sama seperti mencerca seluruh manusia, iaitu dipukul dengan pukulan yang keras dan diberi peringatan, namun ia tidak menjadi kafir dengan perbuatan itu, seperti dinyatakan oleh Al-Hakim dalam kitabnya ms. 228 cetakan Maimaniyah dan Syarah As-Saghir juz 4 ms. 444 cetakan Daarul Ma'arif dan Al-Insaf serta As-Syifa' karangan Qadhi Iyadh juz 4 ms. 571 cetakan Al-Azhariyah, demikian juga Jauharul Ikil dengan syarah Mukhtasar Syeikh Khalil juz 2 ms. 282.

Sesungguhnya para ulama menetapkan hukum-hukum ini dan sejenisnya kepada Ahlul Bait dalam kitab-kitab mereka sesuai dengan tingkatan dan zaman mereka dan tidak seorang pun sepanjang sejarah mengatakan bahawa Ahlul Bait terputus atau tidak dikenal bahkan sebahagian besar dari kalangan ahli fatwa dan pengulas memberi mithal dengan menyebut mereka yang hidup pada zamannya dari itrah yang suci dalam kitab-kitabnya. Seandainya nasab ini terputus atau tidak dikenal orang-orangnya maka pasti para ulama telah menyatakan hal itu, kerana mereka adalah pemegang amanat dan penanggungjawab syariat Allah dan RasulNya.

PEMBAHASAN KESEPULUH

SEKILAS MENGENAI ILMU NASAB DAN KEDUDUKANNYA DALAM SYARIAH ISLAMIYAH

Berfirman Allah Ta'ala di dalam Al-Qur'an: "Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku-suku bangsa, supaya kamu mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang lebih bertakwa".

Dari Abu Hurairah r.a. katanya, bersabda Rasulullah s.a.w.: "Manusia ibarat logam, orang-orang baik di zaman jahiliah adalah orang-orang baik pula di zaman Islam jika mereka berpengetahuan, manusia mengikuti Quraish dalam perkara ini; yang muslim mengikuti muslim Quraish dan yang kafir mengikuti kafir Quraish, kamu akan dapati orang yang paling baik ialah orang yang sangat membenci perkara ini (kekufuran) sehingga ia selamat dari terjerumus kedalamnya". (Muttafaqun Alaih menurut lafaz Muslim dalam keutamaan sahabat).

Dari Abu Hurairah r.a. katanya, bersabda Rasulullah s.a.w.: "Pelajarilah olehmu tentang nasab-nasab kamu agar dapat terjalin dengannya tali persaudaraan kamu. Sesungguhnya menjalin tali persaudaraan itu aka membawa kecintaan terhadap keluarga, menambah harta, memanjangkan umur dan merelakan Allah". Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Tirmizi dan Al-Hakim

Dengan itu jelaslah bahawa ilmu nasab adalah suatu ilmu yang agung, berhubungkait dengan hukum-hukum syarak yang termasuk dalam hukum yang lima. Oleh itu Allah memberi panduan kepada kita dengan firmanNya di dalam kitab suci Al-Qur'an: "Dan kami jadikan kamu, beberapa bangsa dan suku-suku bangsa, supaya kamu kenla mengenal satu sama lain, sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu dalam pandangan Allah ialah yang lebih bertakwa".

Orang yang mengingkari keutamaan ilmu ini adalah orang jahil, pembangkang dan menentang Allah dan RasulNya. Mereka meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah s.a.w. yang maudhu' (palsu), katanya: "Bahawa mengetahui ilmu nasab itu tidak memberi manfaat dan tidak mengetahuinya pun tidak membawa mudarat". Dengan memalsu hadis ini sesungguhnya mereka telah menghukum diri mereka sendiri, iaitu mereka menempah tempat tinggal mereka di dalam neraka jahanam, dengan mengira bahawa mereka telah melakukan sesuatu yang baik. Sungguh syaitan telah memperdaya mereka dengan menghiasi amalan mereka.

Bahagian Pertama - Kedudukan Ilmu Nasab Yang Penting Diketahui Dalam Syariah Islamiah

  1. Mengetahui nasab Rasulullah s.a.w. yang mana Nabi s.a.w. bersabda dalam hal ini katanya: "Aku adalah Muhammad Bin Abdullah Bin Abdul Muttalib Bin Hashim Bin Abdi Manaf Bin Qusai Bin Kilab (nama sebenarnya Hakim) Bin Murrah Bin Ka'ab Bin Luay Bin Ghalib Bin Fihr (Quraish) Bin Malik (Bin An-Nadhr) Bin Kinanah Bin Khuzaimah Bin Mudrikah Bin Ilyas Bin Mudhar Bin Nizar Bin Ma'ah Bin Adnan". Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Abdullah Bin Abas.

Siapa yang meragukan nasab Rasulullah, apakah baginda orang Quraish, Yaman atau Ajam (bukan Arab) maka ia kafir dan tidak diampuni, melainkan jika ia jahil maka wajib baginya belajar.

Dari Saad, katanya: Ketika aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w., siapakah aku ini ya Rasulullah? Baginda menjawab: "Kamu Saad Bin Malik Bin Wuhaib Bin Abdi Manaf Bin Zuhrah, siapa mengatakan selain daripada itu, maka baginya kutukan Allah". Diriwayatkan oleh Al-Hakim.

Dari Amr Bin Murrah Al-Juhni r.a. katanya: Pada suatu hari aku berada di sisi Rasulullah s.a.w. kemudian baginda bersabda: "Siapa berasal dari keturunan Maad hendaklah berdiri", maka aku berdiri tetapi baginda menyuruhku duduk sehingga tiga kali. Lalu aku bertanya, dari keturunan siapa kami ya Rasulullah? Dijawab: "Kamu dari keturunan Qudha'ah Bin Malik Bin Humair Bin Saba". Diriwayatkan oleh Khalifah Bin Khayyat.

  1. Mengetahui asal keturunan para Imam (pemimpin) seperti dinyatakan oleh Ibnu Hazm, "Seseorang wajib mengetahui bahawa Khilafah tidak boleh dipegang melainkan oleh keturunan Fihr Bin Malik Bin An-Nadhr Bin Kinanah dan tidak akan diketahui melainkan dengan mengenali ilmu nasab. Oleh itu mengetahui ilmu nasab menjadi suatu kewajipan secara umum dalam konteks ini".
  2. Saling mengenal di antara satu sama lain sehingga seseorang tidak dinasabkan kepada selain ayahnya atau datuknya, kerana sabda Rasulullah s.a.w. dalam riwayat Bukhari yang mana bunyinya: "Seseorang yang mengaku orang lain sebagai ayahnya padahal ia mengetahui maka ia telah berbuat kekufuran, dan siapa mengaku kepada nasab bukan nasabnya maka hendaknya ia menempah tempat tinggalnya di dalam neraka".

Beberapa perkara yang berkaitan dengan hal di atas ialah:

    1. Mengetahui hukum-hukum pusaka, yang mana sebahagian waris boleh melindungi sebahagian waris yang lain.
    2. Hukum para wali dalam nikah, yang mana sebahagian wali diutamakan dari wali yang lain.
    3. Hukum wakaf, jika orang yang mewakafkan itu mengkhaskan kepada sebahagian keluarga atau kerabat dan tidak kepada sebahagian yang lain.
  1. Mengambilkira nasab dalam kafaah suami terhadap isteri dalam nikah menurut Abu Hanifah, Ahmad dan Syafi'e kerana sabda Rasulullah s.a.w., dari Siti Aisyah r.a. dalam keadaan Marfuk: "Pilihlah tempat untuk menyimpan air mani kamu dan kahwinlah orang-orang yang setaraf serta kahwinkan wanita-wanita itu dengan mereka". Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daraqutni, Al-Hakim dan Al-Baihaqi.

Dan dari Anas r.a. dari Rasulullah s.a.w. bersabda: "Berkahwinlah kamu dengan keluarga yang baik kerana sesungguhnya urat itu meresap", disebutkan oleh Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil.

  1. Memperhatikan nasab wanita yang akan dinikahi, sabda Nabi s.a.w.: "Wanita itu boleh dinikahi dengan empat sebab; kerana hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka utamakan yang memiliki agama nescaya kamu akan beruntung". Diriwayatkan oleh Syaikhan dan Ahmad dalam musnad. Adapun yang dimaksudkan dengan keturunan ialah berasal dari keturunan yang mulia dan hal itu tidak boleh dicapai melainkan dengan mengetahui nasab.
  2. Mengetahui nama-nama isteri nabi yang mana diharamkan kepada seluruh orang Islam mengahwini mereka, begitu juga mengetahui nama-nama sahabat besar dari kalangan Muhajirin dan Ansar dan mengetahui orang-orang yang berhak menerima khumus (seperlima) dari kalangan kerabat Rasul serta mengetahui orang-orang yang diharamkan kepada mereka sedekah dari keluarga Muhammad yang mana Ibnu Hazm menganggap perkara-perkara di atas sebagai fardhu kifayah.

Kemudian para ulama telah menyusun nasab-nasab seperti yang diceritakan oleh Az-Zamakhsyari katanya: Nasab itu terbahagi kepada enam peringkat, pertama dinamakan sya'b yakni puak, kedua kabilah, ketiga imarah yakni suku, keempat batn yakni perut, kelima fakhiz yakni keluarga dan yang keenam fasilah yakni kaum kerabat. Mithalnya kata beliau, puak Khuzaimah, kabilah Kinanah, suku Quraish, kelompok Qusai, keluarga Hashim dan kaum kerabat Abu Talib.

Berkata Amirul Mukminin Sayidina Omar Bin Al-Khatab r.a.: "Pelajarilah nasab kamu supaya kamu dapat menjalin tali kekeluargaan diantara kamu, dan janganlah menjadi seperti kaum Nabat hitam yang jika ditanya salah seorang dari mereka: Dari keturunan siapa kamu? Lalu mereka menjawab: Kami dari kampung itu." Maka demi Allah kiranya ada berlaku sesuatu antara seseorang dengan saudaranya, andainya ia tahu hubungannya dengan saudaranya itu dari hubungan kerabat nescaya hal ini akan menghalangnya dari mencerobohnya.

Sebagaimana orang-orang Arab yang memberi penghormatan terhadap nasab-nasab mereka maka demikian juga seluruh bangsa Ajam (selain Arab) memberi perhatian terhadap nasab-nasab mereka dan perkara ini diambilkira dalam syariat Islam dengan syarat tidak menimbulkan asabiyah atau perkauman dan menimbulkan serewan jahiliah kerana Islam melarang asabiyah jahiliah seperti dinyatakan dalam sabda Nabi s.a.w.: "Tinggalkan ia (asabiyah) kerana ia busuk". Kata-kata baginda diucapkan ketika dua kelompok Aus dan Khazraj sedang bertikai sehingga berkata satu kelompok, "Mari kita pertahankan Aus" dan berkata yang lain, "Mari kita pertahankan Khazraj".

Bahagian Kedua - Usaha Orang-Orang Orientalis Dalam Melenyapkan Ilmu Nasab

Manakala paderi-paderi Nasrani menanggalkan pakaian kepalsuan mereka dengan mengenakan pakaian ilmu yang diperoleh dari orientalisme maka sebenarnya mereka telah meruntuhkan syariat Islam dengan cara meragukan dan membisikkan kepada tali barut mereka dari kalangan bangsa kita dalam perkara nisbah (keturunan) dan kepada mereka yang telah terpengaruh dengan adat istiadat mereka dalam segi akidahnya supaya mereka membantunya dalam meruntuhkan sendi-sendi Islam, ajaran-ajaran dan akhlaknya. Dan mereka datang dari segenap penjuru dengan anggapan bahawa cara itu akan memastikan matlamat mereka tercapai dengan memusuhi Islam serta mereka menginginkan supaya cahaya Allah itu dipadamkan dengan mulut-mulut mereka namun Allah tetap mahu menyempurnakan cahayanya.

Diantara perkara yang hendak mereka hancurkan ialah ilmu nasab yang ada pada orang-orang Islam dan Arab. Mereka itu terdiri daripada orientalis Jerman bernama Westernfield, pengaran buku 'Aliran Tasawuf Di Selatan Negeri-Negeri Arab Pada Aabad Ke-12' dan diikuti oleh orientalis Inggeris bernama R.B. Sargent. Mereka dalam kempennya menggunakan kaedah Ibnu Khaldun dalam perkara nasab yang bertujuan mencerca nasab Bani Alawi secara khusus dan seruan ini datang jauh sebelum Tantawi yang kemudian dibantah oleh Al-Allamah pakar nasab Syed Abdullah Bin Hassan Bilfagih dalam kitabnya 'As-Syawahid Al-Jaliyah An Mada Al-Khalf Fil Qaedah Al-Khalduniyah' dimana beliau telah berjaya mengembalikan tipu daya mereka ke atas diri mereka dan dengan itu gagallah seruan mereka. Firman Allah: "Adapun buih itu hilanglah sebagai barang yang tiada berharga dan apa yang berguna kepada manusia tinggal tetap di muka bumi". (Surah Ar-Ra'd:17).

Bahagian Ketiga - Ilmu Nasab Dalam Pandangan Ilmu Modern

Ilmu moden sangat mementingkan ilmu warisan dengan menghasilkan beberapa penemuan bahawa keturunan itu berbeza antara satu dengan yang lain dalam mendapatkan kelebihan-kelebihan yang diwarisi dan itu sesuai dengan sabda Nabi s.a.w., dari Abu Hurairah r.a. katanya, telah bersabda Rasulullah s.a.w.: "Manusia bagaikan logam, yang baik di zaman Jahiliah baik pula di zaman Islam jika mereka memiliki pengetahuan. Manusia mengikuti orang-orang Quraish dalam hal ini, yang muslim mengikuti si muslim dan yang kafir mengikuti si kafir. Engkau akan dapati orang yang paling baik adalah orang yang sangat benci perkara ini sehingga ia terjatuh kedalamnya." Muttafaqun Alaih, menurut lafaz Muslim dalam keutamaan sahabat.

Maka terbuktilah bahawa setiap keturunan dari keturunan-keturunan yang ada di alam hidup ini memiliki kelebihan-kelebihan yang diwarisi dan dengannya ia memperoleh keistimewaan sama ada alam yang hidup itu berupa tumbuh-tumbuhan, air, haiwan atau manusia, maka masing-masing keturunan membawa sifat-sifat ayahnya. Siapa berasal dair ayah yang mulia maka pasti ia akan mewarisi sifat-sifat ayahnya itu dan sebaliknya orang yang berasal dari ayah yang memiliki sifat-sifat yang hina dan penyakit jasmani, saraf dan jiwa maka ia akan menurun kepada keturunannya. Oleh kerana itu Rasulullah s.a.w. menganjurkan dalam sabdanya: "Pilihlah tempat untuk menyimpan air manimu, kahwinilah wanita-wanita yang setaraf denganmu dan kahwinkan wanita-wanita itu kepada mereka". Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daraqutni, Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. marfuk.

Dan hadis riwayat Anas r.a.: "Berkahwinlah kamu dengan keluarga yang baik kerana sesungguhnya urat itu meresap". Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil.

Maka sesungguhnya Rasulullah s.a.w. menganjurkan kepada kita supaya tidak meletakkan air mani kita melainkan di rahim-rahim yang berasal dari keturunan yang mulia, baik dan dari sumber yang baik sehingga anak cucu dan zuriat kita terhindar dari kekotoran dan suci dari segala kenistaan. Ini tidak akan dapat diketahui melainkan dengan ilmu nasab. Maka kenyataan yang kita lihat pada hari ini di Eropah dimana perbuatan keji itu telah bermahrajalela, nasab bercampur-aduk dan masyarakat Eropah terjerumus didalam jurang yang rendah maka tersebarlah di sana penyakit-penyakit kelamin, jiwa dan saraf. Oleh kerana sifat dendam yang ada dalam diri mereka lalu mereka membawa masuk perbuatan keji itu ke dalam dunia Islam sehingga mereka dapat menghancurkan nasab-nasab penduduknya dan akhirnya mereka menjadikan dunia Islam terputus hubungan dengan asal usulnya. Disaat itu mereka merempuh masuk dikala umat Islam telah meninggalkan semua ajaran-ajaran yang lurus. Dan hanya Allah sebagai pelindung kita dari segala kejahatan mereka dan Allah yang menggagalkan tiu daya mereka. Firman Allah: "Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka namun Allah menolak (dan tidak rela) melainkan menyempurnakan cahayaNya". Maha benar Allah yang Maha Agung.

Kami memohon kepada Allah supaya menjadikan usaha ini semata-mata kerana Allah dan demi mempertahankan satu sendi dari sendi-sendi agama Islam serta memelihara kesucian itrah Ahlul Bait Nabi yang mulia yang mana orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya ingin merendahkan kesuciannya. Ya Allah seandainya ini benar maka itu daripadaMu dan jika salah maka itu dari diriku dan dari syaitan. Dan kami sudahi seruan kami dengan: "Subhana Rabbika Rabbil Izzati Amma Yasifun Wasalamun Alal Mursalin Walhamdulillahi Rabbil Alamin".

Sekian.

Tambahan mengenai Keluarga-Keluarga Bani Alawi Yang Tersusun Dengan Huruf Abjad

Demi kesempurnaan pembahasan ini saya ingin menambahkan satu senarai yang merangkumi nama-nama keluarga Bani Alawi Bin Ubaidillah Bin Ahmad Bin Isa yang menetap di Hadramaut dan orang-orang yang berhijrah ke jazirah Arab, timur Afrika, Asia Tenggara dan India yang mana keluarga-keluarga itu berkisar pada dua tokoh; Tokoh pertama: Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad Bin Ali Ba'Alawi dan tokoh kedua: Bapa saudara Al-Faqih Alawi Bin Muhammad Ba'Alawi. Akan kami sebutkan dalam senarai nanti setiap keluarga yang dikaitkan dengan salah seorang daripada kedua tokoh di atas dan bagi mereka yang menghendakki tambahan yang lebih luas untuk mengetahui susur-galur nasab, tempat tinggal mereka dan sebab-sebab gelaran yang mereka gunakan hendaknya ia merujuk pada kitab Syamsul Dzahirah yang sudah dicetak, karangan Al-Allamah Abdul Rahman Bin Muhammad Bin Husain Al-Masyhur dengan komentar dari Al-Ustaz Dhiya' Bin Muhammad Bin Shahabuddin, dan Al-Mu'jam Al-Latif karangan Al-Ustaz Muhammad Bin Ahmad As-Syatiri.

Wallahu Taa'la A'lam

Syed Muhammad Shaiful Jamalulail

Penyusun Semula