Rabu, 28 Januari 2009

Syekh Abdullah Ba Alawi Ra

Syekh Abdullah Ba Alawi adalah salah satu tokoh yang banyak menurunkan keturunan sebagai da'i di seluruh penjuru dunia, termasuk Asia Tenggara.


Saksi sejarah

كبير شهير للفضائل حائز و كم أتت من آية و نوادر

Dia adalah orang besar terkenal, memiliki berbagai keutamaan
terbukti dengan tampaknya tanda dan kejadian darinya

شريف منيف هاشمي و محسن إلى كل شخص قائم في الدياجر

Orang terhormat, sopan, dari keluarga Bani Hasyim
selalu berbuat baik pada orang lain

و مجتهد حاز الفنون جميعها و جاهد في ذهت الإله بباتر

Mujtahid yang menguasai berbagai disiplin ilmu
berjuang sepenuhnya di jalan Allah

و قدوة أهل لعصر فانصر لشانه لقد فاق في العليا لكل مصابر

Teladan kaum di zamannya, telah mengungguli semua orang sabar,
maka belalah jalan yang dilaluinya

و أول من سميت في القطر شيخه سمعنا بذا عن أول و أواخر

Orang pertama yang kamu juluki dengan julukan Syekh di seluruh kota,
hal ini disampaikan orang sekarang dan juga orang dulu


Pendahuluan

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah untuk Nabi Muhammad SAW, keluarganya yang mulya dan para sahabat yang dengan tulus ikhlas meneladani Nabi Muhammad SAW, juga para pengikut mereka. Abdullah Ba Alawi adalah tokoh Hadhramaut yang lain. Seorang figur berhati bersih. Sebab kemulyaan nasab, ucapan dan tingkah lakunya menjadi baik. Di kalangan Klan Bani Alawi, ia adalah orang pertama yang dijuluki syekh. Ia juga termasuk orang yang dikabulkan doanya. Ini dibuktikan ketika penduduk Makkah memintanya berdoa agar Allah menurunkan hujan, Allah mengabulkannya dan turunlah hujan.

Berikut ini sejarah dan jalan hidupnya. Agar generasi yang melupakan sejarah tokoh pendahulunya, dapat mempelajari dan mengambil hikmahnya.

Biografi Syekh Abdullah Ba Alawi

Nama lengkapnya Syekh Abdullah bin Alawi bin al Faqih al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba Alawi. Ia Imam yang menggabungkan ilmu dhahir dan bathin. Ia memahami hakikat ilmu dan rahasianya, juga akhlaq yang terkandung dalam misi Nabi SAW. Abdullah Ba Alawi terkenal dengan kedermawanan dan kelapangan hati. Ia getol memerangi hawa nafsu dan haal (perubahan kepribadian sebab dzikir yang banyak) yang nampak.

Abdullah Ba Alawi lahir di Tarim tahun 637. Waktu itu, kakeknya, al Faqih Al Muqaddam masih hidup. Abdullah Ba Alawi lalu menghafal al Qur'an di kota itu. Ia hidup dan berkembang sedari masa kecilnya dalam suasana dan lingkungan yang penuh dengan ketakwaan. Hal ini didukung pula oleh keluarganya yang sangat dikenal oleh semua masyarakat Hadhramaut, baik ayah, ibu, saudara dan lainnya. Semuanya paham bagaimana menggunakan waktu dan menghabiskan detik-detik hidupnya.

Penulis Kitab Al Musyari' Al Rawi mengatakan, “Karakter Abdullah Ba Alawi adalah karakter ayah dan kakeknya. Jalan yang ia lewati adalah yang dikenalkan ayah dan kakeknya. Ketika masih muda, ia pergi ke gunung-gunung dan padang luas, berjuang melawan nafsu dan menggantikannya dengan ibadah, ketaatan dan mendekatkan diri pada Allah. Abdullah Ba Alawi banyak menangis. Ia menghindari hal-hal yang melupakan diri dari Allah dan segala macam permusuhan. Ia senantiasa memperbanyak membaca Al Quran, mengajak anak dan rekan-rekannya memperbanyak membaca kitab suci itu.

Syekh Abdullah Ba Alawi Merantau

Syekh Abdullah Ba Alawi semenjak belia merantau dari Hadhramaut ke Haramain (Makkah dan Madinah). Ia tinggal di sana kurang lebih delapan tahun. Dalam perantauannya, ia melintasi daerah kota dan desa di Yaman. Di antara daerah-daerah tersebut, ada yang disebutkan dalam beberapa literatur kitab, antara lain al 'Awaliq al Sufla Kota Ahwar.
Di kota itu tinggal Syekh Muhammad bin Maimun al Tihami , salah seorang murid Syekh Ismail al Hadhrami. Syekh Abdullah Ba Alawi lalu belajar dari beliau. Para sejarawan berselisih, berapa lama Abdullah Ba Alawi tinggal di Ahwar.

Setelah itu ia pindah ke Aden, lalu daerah Tihamah Yaman. Setiap singgah, para ulama selalu mendatanginya untuk mengambil faidah darinya. Abdullah Ba Alawijuga mengambil faidah dari mereka.

Al Gharar mengatakan, saat Syekh Abdullah Ba Alawi masuk Kota Taiz, penduduk kota itu memintanya untuk tinggal di sana. Namun Abdullah Ba Alawi memohon maaf karena tak bisa memenuhi permintaan mereka. Abdullah Ba Alawi justru yang mengambil faidah dari beberapa orang penduduk Taiz.

Kehidupan Sang Tokoh di Haramain

Syekh Abdullah Ba Alawi tinggal di Makkah, di dekat Baitullah. Ia belajar dari majelis-majelis taklim di sana. Ia juga banyak menghabiskan waktunya untuk beramal saleh dengan berpuasa, shalat dan lainnya. Semua kalangan, besar kecil, pemerintah atau rakyat jelata, merasakan keterikatan dengannya. Doanya dikabulkan Allah SWT. Allah juga banyak menampakkan karamah pada dirinya.

Sebagian Riwayat Hidup Syekh Abdullah Ba Alawi

Disebutkan dalam beberapa buku biografi, seperti Al Musyarri' Al Gharar, Syarah Al Ainiyah dan lainnya bahwa Syekh Abdullah Ba Alawi ketika tinggal di Makkah berjuang keras untuk bisa belajar sambil mengamalkan ilmu yang diperolehnya. Di bulan Ramadhan, ia menghatamkan Al Quran pada setiap dua rakaat, setelah berbuka dan Shalat Maghrib. Ia lalu pergi ke kota Zabid, tempat berkumpulnya para ulama besar. Ia belajar dari para ulama di kota itu. Ia juga saling bertukar riwayat dan pengalaman keilmuan. Syekh Abdullah Ba Alawi lantas singgah di Taiz dan belajar dari ulama kota ini. Tentang tekad dan kedermawanannya, pengarang Kitab Al Gharar mengatakan, “Semasa hidup, dialah yang menafkahi keluarga Bani Alawi semuanya. Ia bersedekah dengan jumlah yang banyak sekali. Di antaranya bersedekah untuk masjid yang dinamai dengan namanya, Masjid Ba Alawi. Sebelumnya masjid ini dinamakan dengan Masjid Bani Ahmad, disandarkan pada keturunan Al Imam Al Muhajir Ila Allah Ahmad bin Isa.

Syekh Abdullah Ba Alawi mensedekahkan lahan pertanian, mata air dan kebun korma senilai 90 ribu dinar. Hasilnya digunakan mensejahterakan masjid dan menghormati para tamu masjid. Syekh Abdullah Ba Alawi juga bersedekah untuk pasar Tarim, pelayanan penggalian kubur dan penguburan jenazah. Selain itu, ia juga mensedekahkan lahan bernama Al Wasithah. Tanah ini dipergunakan untuk menghormati para tamu di Tarim.

Saat Syekh Abdullah Ba Alawi masih berdomisili di Haramain, bantuan untuk Hadhramaut selalu mengalir.
Sampai saat saudaranya, Syekh Ali bin Alawi meninggal di Hadhramaut, orang-orang memintanya pulang ke Tarim. Akhirnya ia pulang lewat jalan darat melalui Aden dan Mukalla.

Disebutkan dalam beberapa buku biografi, di antaranya Al Musyari Al Rawi, saat berada dalam perjalanan antara Aden dan Mukalla, ia menyempatkan diri singgah di Ahwar untuk bersilaturahmi dengan gurunya, Syekh Umar bin Maimun. Namun Syekh Abdullah Ba Alawi mendapatinya telah meninggal dunia. Ia lalu yang memandikan dan mengkafaninya. Ternyata dulu, sebelum meninggal Syekh Maimun pernah mengatakan pada Syekh Abdullah Ba Alawi, “Nanti bila aku meninggal dunia, mandikan dan kafani aku. Saat itu, akan datang seorang syekh dengan sifat-sifat seperti ini, jadikan ia imam untuk mensholati jenazahku. Dialah yang akan menjadi penggantiku kelak.”

Ketika Syekh Abdullah Ba Alawi datang, wasiat itu ia laksanakan. Lantas penduduk memintanya untuk tingal di situ menjadi pengganti Syekh Maimun. Namun ia tidak bisa memenuhi permintaan tersebut. Akhirnya putra Syekh Maimun dibaiat menjadi syekh dan dipakaikan Khurqah. Syekh Abdullah Ba Alawi berpesan, “Eratkan ikat pinggangmu karena aku diutus untuk menjadikanmu Imam.” Lalu ia meninggalkan mereka menuju Ba Ma'bad.

Syekh Kembali ke Tarim

Syekh Abdullah Ba Alawi sampai di Tarim dan disambut penduduk kota itu. Ia lantas menikah dengan istri mendiang adiknya. Ia merawat dan mendidik anak-anaknya. Penulis Al Musyarri' mengatakan, “Ketika sampai di Tarim, penduduk kota itu seakan mendapatkan keunutngan luar biasa. Kota ini menjadi bersemangat. Semua penduduk menyambutnya dengan wajah gembira berseri-seri.”

Syekh Abdullah Ba Alawi mengajar fiqih Madzhab Syafi'i, Thariqah dan pembahasan-pembahasan tentang ilmu hakikat. Orang dari luar Tarim pun berdatangan untuk belajar padanya. Ilmunya menyebar ke seluruh penjuru. Syekh Abdullah Ba Alawi mengangkat para syekh dan menghormati posisi mereka. Di bawah asuhannya, terlahir generasi yang banyak dan luar biasa.

Sebagian Murid Syekh Abdullah Ba Alawi

Sebagian muridnya adalah:
1. Tiga orang putranya; Ali, Muhammad dan Ahmad.
2. Keponakannya, Muhammad Muladawilah.
3. Sepupunya: Abu Bakar dan Alawi bin Ahmad.
4. Sayyid Muhammad bin Alawi.
5. Syekh Abdullah bin Al Faqih Ahmad bin Abdul Rahman.
6. Syekh Ali bin Silim.
7. Syekh Fadhal bin Muhammad Ba Fadhal.
8. Syekh Abdullah bin Al Faqih Fadhal.
9. Syekh Muhammad bin Ali Ba Syuaib Al Anshari.
10. Syekh Muhammad bin Al Khatib.
11. Syekh Muhammad bin Abi Bakar Ba Abbad.
12. Syekh Muhammad bin Ali Ba Syu'aib Al Anshari.
13. Syekh Muhammad bin Khatib.
14. Syekh Ahmad bin Ali Al Khatib.
15. Syekh Abdul Rahman bin Muhammad Al Khatib.
16. Syekh Umar Bawazir (dimakamkan di Al Ghail Al Asfal).
17. Syekh Khalil bin Umar bin Maimun peduduk Ahwar.
18. Syekh Maflah bin Abdullah bin Fahad.
19. Syekh Bahmaran (dimakamkan di Maifa'ah, ia bukan Bahmaran murid Al Faqih Al Muqaddam)


Mengatur Waktu

Disebutkan dalam Kitab Al Musyari' Al Rawi, “Di antara kebiasaannya, keluar masjid untuk shalat witir dan membaca Al Qur'an sampai terbit Fajar. Kemudian beri'tikaf, membaca Al Quran sampai terbit matahari. Lalu pulang ke rumah sebentar dan kembali lagi ke masjid untuk menyampaikan pelajaran sampai saat qailulah (tidur siang menjelang Dhuhur sampai waktu Dhuhur). Beliau ber-qailulah di rumah, lalu kembali ke masjid untuk Shalat Dhuhur. Setelah itu, kembali lagi ke rumah untuk muthala'ah sampai datang waktu Ashar. Kemudian Syekh Abdullah Ba Alawi melaksanakan Shalat Ashar bersama masyarakat dan duduk di masjid sampai datang waktu Maghrib. Setelah Shalat Maghrib, ia membaca Al Quran sampai Isya. Baru kemudian ia kembali ke rumahnya.

Di Bulan Ramadhan, ia berada di masjid sampai waktu Shalat Tarawih tiba. Setelah shalat tarawih, ia shalat dua rakaat. Saat shalat dua rakaat itu, ia menghatamkan Al Quran. Lantas Syekh Abdullah Ba Alawi pulang ke rumah dan sahur, kemudian kembali lagi ke masjid sampai waktu Dhuha tiba. Setelah Shalat Dhuha, ia pulang ke rumah untuk ber-qailulah sampai datang waktu Dhuhur. Setelah itu, ia kembali lagi ke masjid, Shalat Dhuhur berjamaah, lalu memberikan pelajaran sampai Ashar. Setelah itu ia berzikir.

Syekh Mauladawilah mensifati gurunya ini, “Aku belum mendapati orang seperti pamanku Abdullah, baik ketika aku di sini ataupun ketika aku berpergian.” Menurut Syekh Abdul Rahman al Segaf, “Semua ‘arifin (tingkatan di mana seseorang diberi kemampuan untuk merasakan kehadiran Allah) sepakat bahwa Syekh Abdullah Ba Alawi adalah sisa para mujtahid.”

Karamah Syekh Abdullah Ba Alawi

Karamah para wali adalah hal yang tidak dipungkiri kecuali oleh pembangkang atau orang zindiq. Al Quran dan Al Sunnah membenarkan terjadinya hal ini dari para kekasih Allah SWT.

Hanya saja generasi zaman ini menentang adanya karamah karena dua hal: Pertama, sebagian kisah tentang karamah diriwayatkan dalam bentuk yang tak logis, bahkan sebagian disebutkan keluar dari garis syariat. Hal ini mengundanng reflek dan respon negatif dari luar.

Kedua, metode belajar dewasa ini, baik agama maupun umum, diarahkan untuk menutup pendalaman segi spiritual dan condong menilai jelek dan menginkari ajaran ini, dengan cara mencampuradukkan antara karamah wali dan ilusi orang fasiq dan munafik. Termasuk juga mencampuradukkan dengan hal-hal luar biasa hasil sihir dan mantera.

Analisa ini menjadikan banyak pihak, dalam menyikapi fenomena karamah para wali, dengan menvonis puluhan wali dengan tuduhan tak beralasan. Bahkan oleh pihak yang menerima terjadinya karamah dari sahabat, tabi'in dan sebagian wali, sekira karamah mereka jika disebutkan, tidak menimbulkan reaksi berlebihan. Kita tidak akan mendoktrin orang untuk mempercayai karamah seorang wali tertentu, sebagaimana kita tidak membela cerita-cerita tambahan dari sebagian orang dalam meriwayatkan karamah wali tersebut, hal ini berandil besar dalam merusak figur tersebut. Kita akan berusaha seobyektif mungkin dalam bersikap dengan dasar kesaksian yang dituliskan oleh orang-orang terpercaya yang hidup di masa wali tersebut.

Karamah terjadi sebagai hasil ketaatan dan perjuangan melawan hawa nafsu. Islam tak menafiikan terjadinya karamah, dengan syarat-syarat tertentu. Namun jika keluar dari syariat dan lepas dari logika, maka harus diteliti tentang siapa pembawa berita tersebut. Ditelusuri pula tentang amanah penulis dan keberadaan cerita tersebut di buku lain. Perlu juga dikaji gaya penyampaian cerita yang digunakan di masa itu. Kita tidak meniru cara sebagian aliran yang mencoret dari daftar keislaman, puluhan bahkan ratusan orang saleh sebab ucapan yang kabur dan prilaku yang mencurigakan. Sebab memvonis seseorang bahwa ia keluar dari agama tidak dimiliki siapapun. Demikian juga pem-blacklist-an semua pengikut tasawwuf. Sebab dalam aliran ini terdapat orang semacam Ibnu Arabi dan Ibnu Faridl.

Sebagai contoh, Al Idrus dikatakan memiliki hak untuk mengatur alam; Syekh Abdullah Ba Alawi dapat memberi syafaat pada orang-orang yang memintanya padanya saat dihisab malaikat. Dan banyak lagi cerita yang mencoreng kharisma hamba-hamba Allah yang zuhud tersebut. Pencorengan nama ini tidak akan merubah atau menenggelamkan kebenaran. Bahkan justru akan menampakkan kekeliruan orang-orang yang melebih-lebihkan ataupun juga yang mengurang-ngurangi.

Di antara Karamah Syekh Abdullah Ba Alawi

Disebutkan dalam Kitab Al Musyarri' (hal 188), “Suatu saat Syekh melarang seseorang yang tinggal di Makkah untuk meminum khamer (minuman keras). Orang tersebut berkata, “Aku seorang penjahit dan khamer ini membantuku menjalani profesi ini.” Syekh Abdullah Ba Alawi berkata, “Jika Allah memberimu solusi lain apakah kamu berjanji tidak akan meminumnya lagi?” Orang itu menjawab, “Iya, aku mau.” Lantas Syekh Abdullah Ba Alawi berdoa agar Allah menerima taubatnya dan melepaskannya dari kebiasaan tersebut. Orang itu lalu bertaubat dan memperbaiki kondisinya.

Syekh Abdullah Ba Alawi meminta janji dari orang itu dan agar ia mempertahankannya selama tiga hari. Suatu malam, Syekh Abdullah Ba Alawi bermimpi ada orang yang berkata, “Galilah liang lahat untuk si fulan. Barang siapa menshalatinya akan diampuni dosanya oleh Allah.” Lantas beliau bangun dan menanyakan perihal si fulan tadi, ternyata ia telah meninggal dunia. Syekh Abdullah Ba Alawi lalu menshalatinya.

Dari kisah ini, tidak ada yang perlu dikritisi.
Hanya mungkin sebagian orang bertanya-tanya tentang kalimat "Barang siapa menshalatinya, Allah akan mengampuni dosanya." Kalimat ini adalah kalimat yang didengar dalam mimpi, bukan ayat Al Quran atau hadits Nabi SAW hingga bisa dijadikan dasar hukum. Inti cerita tersebut mengkisahkan tentang kesalehan orang tadi. Adapun pengampunan dosa dalam mimpi ini, secara takwil mimpi, menunjukkan keridlaan Allah atas mendiang. Lalu apakah Allah SWT benar-benar akan mengampuni dosanya atau tidak? Hal itu kembali kepada-Nya semata.

Karamah Syekh Abdullah Ba Alawi yang lain, dikisahkan, suatu hari seseorang menyitir syair tentang hari pembangkitan dan hari perhitungan (hisab). Saat itu Syekh Abdullah Ba Alawi datang dan turut mendengarkannya, lalu beliau pingsan.
Setelah sadar, Syekh Abdullah Ba Alawi meminta orang tersebut mengulangi bait-bait tadi. Orang itu menolak kecuali dengan imbalan “Minta imbalan apa?” tanya Syekh Abdullah Ba Alawi. Dijawab, “Sorga.” Syekh berkata, “Itu bukan urusanku. Mintalah uang seberapa yang kamu mau.” Orang itu tetap meminta sorga. Lalu Syekh Abdullah Ba Alawi berpikir, “Jika memang diberi ya diterima.” Ia lalu mendoakannya agar Allah memberinya sorga. Sesuai riwayat, orang tersebut semakin membaik perilakunya, lalu meninggal dunia.

Syekh Abdullah Ba Alawi ikut dalam penyelenggaraan jenazahnya dan turut menguburkannya. Lalu beliau duduk di kubur orang tersebut beberapa saat. Tak lama, mimik wajahnya berubah dan kemudian tertawa. Ketika ditanya, Syekh Abdullah Ba Alawi menjawab, bahwa orang itu saat ditanya dua malaikat tentang siapa Tuhannya? Ia mengatakan guruku Syekh Abdullah Ba Alawi. Kedua malaikat bertanya lagi dan dijawab dengan hal yang sama. Sampai akhirnya keduanya mengatakan, ‘Selamat datang untukmu, juga untuk untuk gurumu Syekh Abdullah Ba Alawi.’

Cerita ini banyak digunakan para penulis untuk memvonis kerusakan aqidah Ahlul Bait di Hadhramaut, dengan dalih Syekh Abdullah Ba Alawi memproklamirkan diri sebagai perantara agar bisa diterima dalam pertanyaan di alam barzakh. Padahal hal itu tidak pernah dilakukan seorang nabi pun ataupun malaikat. Menurut kami, cerita ini bukan ukuran apakah orang tadi diterima ataukah tidak. Tapi bila kita mau jeli, dan jika cerita ini memang sesuai kenyataan sebagaimana yang diriwayatkan, maka di dalamnya tidak terdapat penyimpangan sama sekali. Kami berpendapat demikian, karena setelah dianalisa, dengan menghadapkan cerita ini dengan akal, logika dan dengan landasan kita mempercayai terjadinya karamah para wali.

Beberapa hal yang mengganjal di benak sebagian orang dari cerita ini adalah:
1. Jaminan surga. Tidak seorang pun memilikinya kecuali para nabi dengan perintah Allah SWT. Boleh jadi sebagian penentang memasukkan hal ini seperti yang ada dalam ideologi kaum kristiani yang mengatakan adanya tanda jaminan pengampunan.
2. Pengetahuan Syekh Ba Alawi akan apa yang terjadi di alam barzakh, sedang dia berada di dunia.
3. Cerita pengarang yang menunjukkan bahwa Syekh menjaga muridnya walau murid tersebut telah meninggal dunia.

Kami katakan, “Dalam cerita tersebut tidak disinggung sama sekali perihal jaminan surga, yang ada dalam teks tentang karamah adalah sebagai berikut: Pertama, Syekh Ba Alawi mengatakan "Itu bukan urusanku, tapi mintalah uang seberapa yang kamu mau." Dengan jelas ia menafikan haknya untuk memberikan jaminan. Ini cukup dijadikan jawaban bagi para penentang.

Kedua, ketika orang tersebut bersikeras minta surga, Syekh Ba Alawi tidak mengatakan dengan pasti, tapi kalimat yang ia gunakan, "Jika memang diberi ya diterima.” Ia lalu mendoakannya agar Allah memberikannya sorga. Dari sini kita bisa melihat tingginya sopan santun syekh terhadap Allah SWT. Dan hal tersebut tergantung pada kehendak Allah.

Adapun pemahaman bahwa Syekh mengetahui apa yang terjadi di alam barzakh, hal ini bisa dikembalikan pada dua sisi: Pertama, pengetahuannya ini termasuk kategori kasyaf. Dan hal ini bukan sesuatu yang mustahil dari para wali, sekalipun orang-orang di zaman ini susah menerima dan meyakininya. Tapi fakta dan banyak dalil menunjukkan, ini bisa terjadi dari orang-orang saleh. Bukan maksud kami membuktikan bahwa kejadian itu memang betul terjadi, tapi dalam rangka untuk membela kehormatan penulis biografi tersebut dari vonis kekafiran.

Diriwayatkan dalam suatu hadits, seseorang berniat untuk mendirikan tenda dan ketika hendak memasang pasak mendengar dari dalam bumi suara Al Quran dilantunkan. Lantas hal itu disampaikan pada Rasulullah SAW. Beliau mengatakan, “Dia dulu membacanya di dunia dan sekarang dihidangkan di kuburnya.” Dalil ini merupakan jawaban bagi orang yang menafikan pendengaran hal ghaib.

Kedua, teks cerita mengatakan terjadinya pengetahuan Syekh tanpa menyebutkan caranya. Yang logis untuk cerita ini, syekh saat itu tertidur sejenak dan bermimpi tentang kondisi orang tadi. Ia lalu menceritakan apa yang dilihat dalam mimpinya. Hal ini dapat disimpulkan dari kalimat, “Lalu ia duduk di kubur orang tersebut beberapa saat." Dan terjadinya mimpi seperti ini bukan mustahil.

Syekh Abdullah Ba Alawi Di Penghujung Usianya


Syekh Abdullah Ba Alawi termasuk orang yang berumur panjang untuk beribadah dan beramal saleh. Di akhir usianya, ia berujar, “Segala sesuatu mengurangi diriku kecuali dunia. Aku tak peduli sama sekali pada dunia, apakah dia datang atau pergi. Tempat dunia hanya di atas tenggorokan.”

Maksud kalimat, ‘Segala sesuatu mengurangi diriku’: mengurangi kekuatanku. Sebab badan menjadi lemah bila dibanding saat masa muda. Meski begitu, ia tak pernah telat beribadah dan beramal saleh. Ia tak pernah bermalas-malasan untuk mencapai segala keutamaan. Ia memiliki banyak keutamaan, di antaranya sebagaimana disebutkan penulis Al Musyarri': “Syekh Ba Alawi sangat gemar minyak wangi sampai baunya tercium dari kejauhan. Ia berkulit putih, tinggi, berwajah tampan, matanya lebar, lisannya fasih, pemberani, berjambang lebat, berwibawa, senyum ketika bertemu dengan siapapun. Semua orang memujinya dengan bait-bait syair, seandainya itu dikumpulkan, akan menjadi buku tebal.”

Syekh Ba Alawi senantiasa menyampaikan ilmu sampai akhir hayatnya, di hari Rabu, pertengahan Jumadil Ula, tahun 731. Ia wafat dalam usia 93 tahun atau 91 tahun. Perbadaan ini karena hari kelahirannya diperselisihkan. Hari itu merupakan hari kesedihan, terutama bagi orang-orang faqir, lemah dan anak yatim. Ia dimakamkan di samping makam kakeknya, Al Imam Al Faqih Al Muqaddam.

Penulis Kitab Al Gharar memuji beliau dalam bait-bait:

سلام على نسل شيوخ الأكابر سلام عليه بالعشي و باكر

Keselamatan bagi putra para syekh yang mulia sepanjang malam dan siang

سلام على شيخ الشيوخ أبيهم سلام عليه عد طش المواطر

Keselamatan bagi guru di sejumlah titik air hujan

سلام على الأواب واحد عصره إمام الهادي كهف التقى و البصائر

Keselamatan bagi orang yang taubat, imam para penunujuk, naungan ahli takwa

سلام على كنز المساكن عينهم أب لليتامى و الأرامل ياسر

Keselamatan bagi pusat orang-orang miskin, ayah anak-anak yatim, dan janda-janda

سلام على القوام على نسق الدجى و في الصيف صوام بوقت الهواجر

Keselamatan bagi orang yang shalat di saat gelap gulita, dan di kala musim panas berpuasa, saat semua orang menghindarinya.

سلام على النحرير و الفاضل ترقى إلى العليا بفخر مفاخر

Keselamatan bagi orang yang mahir nan utama, yang meningkat derajatnya dengan segala kebanggaan

عظيم التقى و الزهد للخلق معقل لإذا ناب خطب مؤلم للعاشر

Seorang yang berderajat tinggi dalam ketakwaan, kezuhudan, benteng bagi masyarakat ketika dilanda hal yang menyakitkan

يقوم مقاما لم يقم فيه غيره هو الشيخ عبد الله نجل لباقر

Mencapai derajat yang belum pernah dicapai orang lain, beliaulah Syekh Abdullah ayah Baqir

سلالة العلوي الهمام الذي سما سماء المعالي ما له من مناظر

Beliau keturunan Sayyidina Ali yang telah mencapai ketinggian tak tertandingi

Keluarga Abdullah Ba Alawi

Ali Abdullah Ba Alawi adalah julukan bagi keluarga Bani Alawi keturunan Syekh Abdullah Ba Alawi. Nasab keluarga ini benar-benar dijaga silsilahnya dengan cara dicatat dan dibukukan. Di antara buku ini, yang terakhir kali di-tahqiq dan ditertibkan adalah buku Syamsu al Dhahirah, di-tahqiq oleh Sayyid Muhammad Dhiya Syihab.

Dari buku di atas, kita banyak mengetahui data tentang Ali Abdullah Ba Alawi. Silsilah Keluarga Ali Abdullah Ba Alawi.

Penulis Syamsu Al Dhahirah mengatakan, Syekh Abdullah Ba Alawi memiliki tiga putra:

Pertama, Ahmad. Ia berputra satu, yaitu Imam Muhammad Jamalullail yang meninggal tahun 787. Imam Muhammad berputra satu, yaitu Abdullah yang juga berputra satu, Ahmad. Silisalah (rangkaian) nasab tersebut habis sampai di sini.

Kedua, Ali bin Abdullah yang meninggal di Tarim 784. Ia memiliki empat putra yaitu Muhammad al Qarandali, Ahmad, Abdul Rahman. Nasab ketiga putranya ini juga habis di sini. Putra keempat adalah Abdullah. Ia berputra dua: Ahmad dan nasabnya telah habis. Yang kedua adalah Alawi yang terkenal dengan nama ‘al Syaibah’. Ia memiliki enam putra empat. Di antara mereka berketurunan terus dan yang dua nasabnya telah habis. Dari empat orang tadi, keturunan Ali Abdullah Ba Alawi bercabang sebagai berikut:
1. Keluarga al Syaibah. Nasab mereka kembali ke Umar bin Alawi bin Ali bin Abdullah Ba Alawi.
2. Keluarga Al Masilah, di daerah pesisir. Nasab mereka kembali pada Muhammad bin Alawi bin Ali bin Abdullah Ba Alawi
3. Keluarga Ba Ruum di Do’an, negri air, Hijaz, India dan lain-lain. Nasab keluarga ini kembali pada Muhammad bin Alawi bin Ali bin Abdullah Ba Alawi.
4. Keluarga al Syilli. Nasabnya kembali pada Sayyid Abdullah bin Abu Bakar bin Alawi yang terkenal dengan al Syilli.
5. Keluarga Bin Junaid. Nasab mereka kembali ke Sayyid Muhammad bin Ahmad Qasam bin Alawi al Syaibah.
6. Keluarga al Ahdlar. Nasab mereka kembali ke Sayyid Muhammad bin Ahmad Qasam bin Alawi al Syaibah. Di antara mereka ada yang berada di Saihut, Dathinah, Awaliq, dan lain-lain.
7. Keluarga al Jailani yang berada di Markhah, Do’an, Rehab dan al Aisar. Nasab mereka kembali ke Sayyid Muhammad bin Ahmad Qasam bin Alawi al Syaibah.
8. Keluarga Hamdun di Habasyah. Nasab keluarga ini kembali ke Sayyid Muhammad Hamdun bin Alawi bin Muhammad al Mu'allim bin Ali Jahdab bin Abdul Rahman bin Muhammad bin Abdillah Ba Alawi.
9. Keluarga al Kherred di Tarim, Doan, Jawa, Palembang, Bali (Indonesia), Kelantan (Malaysia) dan Somis. Nasab mereka kembali ke Sayyid Zain bin Ali Kherred bin Muhammad Humaidan bin Abdul Rahman bin Muhammad bin Abdillah Ba Alawi.
10. Keluarga Ba Raqbah yang ada di Tarim, India, Jawa, Jambi, Cirebon, Palembang, Siyak, Riau, Surabaya dan Pekalongan (Indonesia). Nasab mereka kembali ke Sayyid Umar Ba Raqbah bin Ahmad al Aksah bin Muhammad bin Abdullah Ba Alawi.
11. Keluarga Ba A'abud Dabhan yang berada di Qasam, Ghaidhah, Dhafar dan Jawa (Indonesia). Nasab mereka kembali ke Sayyid Dabhan bin Ahmad al Aksah bin Muhammad bin Abdullah Ba Alawi.
12. Keluarga al Munaffir di Tarim, Malabar, Jawa (Indonesia), Lahj, Habasyah, Hijaz, Zaila', dan Yaman, disebutkan oleh pentahqiq kitab Syamsu Al Dhahirah bahwa keluarga al Munaffir bercabang menjadi :
1) Keluarga al Masyhur Marzaq di Syibam, Bangil Jawa (Indonesia)
2) Keluarga Fad'aq di India, Suqatra, Hiban, al Awaliq, Syaqrah.
3) Keluarga Abi Numi di Habasyah, Syihir, Ghail, al Mukalla, Hajar, Ahwar, India, Dhafar.
4) Keluarga Al Mutahhar di Qasam, Jawa, India dan Syihir.
5) Keluarga Mudaihij di Tarim, Raidah, Jawa (Indonesia), Yaman dan India.
6) Keluarga Bin Hamid di Tarim, Malabar dan Jawa (Indonesia).
7) Keluarga Madhar di Dhafar, Makkah. Di antara mereka juga ada yang di Ahwar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar