Sabtu, 31 Januari 2009

Memahami Hawa Nafsu ( Idhohul Asror Ulumul Muqorrobiin )

Habib Muhammad bin ‘Abdullah bin Syeikh Alaydrus

Sedekah

Salah satu rahasia yang telah dicoba oleh kaum arifin untuk menghadapi datangnya bencana, berbagai peristiwa menakutkan dan penyakit adalah dengan memperbanyak sedekah kepada kaum dhu’afaa`.

Begitu pula ketika mereka jatuh ke tangan orang-orang yang zalim. Namun sebelum mengeluarkan sedekah, mereka mempertimbangkannya lebih dahulu. Setiap sedekah yang mereka keluarkan disesuaikan dengan besar kecilnya bencana yang terjadi.

Amal yang mereka kerjakan untuk persoalan ringan tidak sama dengan amal yang mereka kerjakan untuk mengatasi persoalan yang berat. Untuk suatu tujuan yang besar, mereka mencurahkan sesuatu yang besar pula. Seseorang yang mengetahui rahasia-rahasia ini berarti telah memperoleh salah satu dari ilmu-ilmu kaum khusus.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)

Akal, Nafs Dan Hawa

Allah Ta’âlâ berfirman kepada orang-orang yang memiliki hati, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang memiliki hati.” (QS Qaf, 50:37)

Dan ketika menyebut nafs Allah Ta’âlâ berfirman, “Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan…” (QS Yusuf, 12:53)

Allah berfirman kepada Musa as, “Salahkanlah nafs-mu, karena yang paling layak untuk disalahkan adalah nafs. Ketika bermunajat kepada-Ku, bermunajatlah dengan lisan yang shidq dan hati yang takut.”

Ketahuilah, setiap kali hati memiliki sesuatu yang baik, maka nafs pun memiliki hal serupa yang dapat mengaburkan. Sebagaimana Allah memberi hati keinginan (irâdah), maka Allah juga memberi nafs angan-angan kosong (tamanniy). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan cinta (mahabbah), maka Allah memberi nafs hawa nafsu (hawâ). Sebagaimana Allah memberi hati harapan (rojâ`), maka Allah memberi nafs ketamakan (thoma’). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan takut (khauf), maka Allah memberi nafs perasaan putus asa (qunûth). Perhatikan dan renungkan kata-kataku ini.

Salah satu contoh yang dapat memberikan gambaran jelas kepadamu adalah keadaan orang yang terlilit hutang. Kamu seringkali melihat orang yang tidak mau melunasi hutangnya. Namun ketika memperoleh harta, ia justru menyedekahkannya, dan tidak berusaha melunasi hutangnya. Itulah contoh perbuatan baik yang timbul dari nafs. Sebab, di antara sekian banyak jenis nafs, ada nafs yang suka melakukan murûah dan merasakan kenikmatan ketika memberi.

Orang yang nafs-nya seperti ini merasakan kenikmatan dalam memberi sebagaimana orang jahat merasakan kenikmatan ketika menolak permohonan pertolongan. Demikian pula halnya dengan mereka yang mengerjakan sunah, tapi meninggalkan yang wajib. Misalnya: orang yang mengerjakan ibadah haji berulang kali dengan uang halal dan haram serta mengabaikan ketakwaan dalam urusan-urusannya yang lain. Di antara mereka ada yang menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, tapi meremehkan salat. Hasan Al-Bashri rhm berkata, “Ada seseorang berkata,’ Aku telah haji, aku telah haji.’ Kamu telah menunaikan ibadah haji, oleh karena itu sambunglah tali silaturahmi, bantulah orang yang sedang kesusahan, dan berbuat baiklah kepada tetangga.”

Contoh lain adalah orang-orang yang mencari harta haram kemudian membelanjakannya dalam kebaikan. Sebagaimana telah kuberitahukan kepadamu, semua perbuatan ini digerakkan oleh nafs, sama sekali tidak memiliki hubungan dengan hati.

Allah menjadikan “perbuatan yang dilakukan secara berlebih-lebihan” untuk nafs dan “perbuatan yang dikerjakan secara wajar” untuk hati. Jika kamu melihat perilaku, atau pencarian ilmu dan ibadah dikerjakan dengan tenang (thuma’ninah), maka ketahuilah bahwa perbuatan itu muncul dari hati dan pelakunya adalah orang berakal. Tetapi, jika kamu melihat seseorang yang perilaku, cara menuntut ilmu dan ibadahnya tidak dilakukan dengan tenang, pelakunya emosional dan bodoh, maka ketahuilah bahwa kegiatan itu digerakkan oleh nafs dan hawâ. Sebab, hawâ merusak dan menggoncangkan akal. Di mana pun berada, hawâ akan selalu merusak.

Demikianlah sifat hawâ. Jika hawâ berinteraksi dengan akal, hawâ akan merendahkan dan menggoyahkannya. Jika berinteraksi dengan agama, hawâ akan mengotori dan merusaknya. Sehingga kamu dapat melihat bahwa orang yang agamanya dan cara ber-sulûk-nya baik bila dikuasai oleh hawâ, urusannya menjadi kacau, keadaannya menjadi buruk dan dibenci masyarakat. Begitulah sifat kebatilan, ia akan merusak kebenaran, jika keduanya bercampur. Jika hawâ mampu merusak orang yang berakal dan beragama, lalu bagaimana menurutmu jika hawâ merasuki para pecinta dunia yang jiwanya lemah? Bagaimana keadaan mereka nanti?

Segala hal yang dirusak oleh hawâ dapat diperbaiki oleh akal, karena hawâ mempunyai tingkat setaraf dengan akal. Hawâ akan merendahkan dan menjerumuskan manusia, sebaliknya akal akan memuliakan dan meninggikannya. Sungguh besar perbedaan keduanya!

Kamu lihat orang yang dipengaruhi hawâ tampak seperti orang buta, tidak tahu jalan (menuju Allah). Hawâ menghambatnya dari mencari sesuatu yang memiliki hakikat, membuatnya tidak memikirkan akibat perbuatan yang ia lakukan, membuatnya suka bertengkar dan bermusuhan, membuang-buang umur dalam mencintai dan membanding-bandingkan keutamaan para imam.

Lain halnya dengan orang-orang yang berakal, mereka sibuk dengan diri mereka sendiri, menyempurnakan semua amal mereka dengan niat-niat yang baik, memanfaatkan waktu yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya, berusaha keras untuk berbuat kebajikan, dan menyesali perbuatan baik yang tidak dapat mereka kerjakan.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)

Hubungan Maksiat Dengan Bencana

Wahai saudaraku, sadarlah, perbaikilah amalmu dengan sekuat tenaga. Amatilah setiap zaman dengan cermat. Sebab, ada zaman yang keburukannya banyak dan kebahagiaannya sedikit, kesedihannya tersebar rata, kesusahannya banyak dan keberkahannya sedikit. Oleh karena itu seorang yang berakal hendaknya sadar dan berhati-hati, berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan segenap kemampuannya agar terhindar dari bencana.

Sesungguhnya yang menjerumuskan manusia ke dalam berbagai bencana ini tiada lain adalah kelalaian, pengabaian, berpalingnya mereka dari Allah Yang Maha Tinggi, dan keinginan kuat untuk dekat kepada Allah tanpa diiringi amal yang memadai. Karena itulah Allah Ta’âlâ murka dan tidak memberikan berkah pada bumi. Sehingga alam porak poranda dan keadaan makhluk pun terpuruk.

Demikianlah zaman yang penuh kelalaian, di dalamnya para pelaku maksiat bermaksiat secara terang- terangan, zaman yang serba sulit, zaman yang
pengaruhnya sangat mengkhawatirkan. Keadaan ini menunjukkan bahwa Allah Ta’âlâ telah berpaling dari makhluk-Nya. Sebab, jika Allah meridhoi hamba-Nya, maka Ia akan memandang mereka dengan penuh kasih, alam pun bercahaya, jiwa senang, hati hidup, kebahagiaan tampak, keadaan manusia menjadi baik, berkah melimpah ruah dan kebaikan semakin meningkat.

Dikatakan dalam sebuah syair:

Kau lihat kampung ini ceria saat Nu’ma ada,
Dan menjadi suram ketika ia tiada

Atau:

Demi hidupku,
jika hati ini bahagia saat berdekatan denganmu,
ia pasti menderita ketika jauh darimu
kau pergi atau tinggal,
cintaku padamu tetap membara,
tempatmu di hatiku selalu terjaga
betapa sepi dunia tanpa dirimu
dan alangkah indahnya dunia bila bersamamu

Atau:

Kehadiranmu membuatku senang dan bahagia
tanpamu dunia ini bagiku adalah penjara
kujalani hidup ini
dan kehidupan pun terasa nikmat bersamamu
berderai air mataku karenamu
dan kampung ini terasa nyaman berkatmu
Jika tidak berlomba ‘tuk memperoleh cintamu
dan tidak cemburu kepadamu,
lalu dengan siapa lagi aku mesti berlomba?

Kau telah membuatku mencintai Najd dan Hajir,
Padahal keduanya bukan negeriku
Kau dahulu pernah tinggal di situ
Maka keduanya menjadi tempat nyaman bagiku

Para ulama berkata, “Jika Allah Ta’âlâ berpaling dari makhluk, Ia jadikan alam ini gelap gulita, maka lenyaplah kesenangannya, padamlah cahayanya, hancurlah hati manusia, menjadi buruk keadaan mereka, tersebar merata kesedihan, menjadi sedikit kebaikan, lenyaplah amanah, hilanglah rasa cinta, membumbung tinggi harga-harga, orang jahat berkuasa, berkuranglah keuntungan para pedagang, orang berakal menjadi bingung menyaksikan peristiwa- peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan bumi rusak dan tak ramah kepada penghuninya.

Dalam syair dikatakan:

Jika aku berkunjung ke suatu kota
dan tak kulihat engkau di sana
kota berubah muram wajahnya
dan semua menjadi gelap gulita

Bencana ini terjadi karena dosa-dosa manusia; karena mereka melanggar larangan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya. Sebab Allah dapat menyegerakan
atau menunda siksa. Siksa yang disegerakan adalah seperti yang telah kusebutkan: kerusakan alam dan lain-lain. Adapun siksa yang ditunda adalah siksa yang dijanjikan di akhirat.

Oleh karena itu, orang yang cerdas seharusnya bangkit dari tidurnya dan mencurahkan semua tenaga untuk beribadah kepada Tuhannya. Sehingga, ketika manusia ditimpa siksa dan bencana, maka Allah dengan rahmat-Nya akan menyelamatkan mereka yang sungguh-sungguh berkhidmat kepada-Nya.

Sebab, bencana yang diturunkan akan menimpa semua manusia: yang taat apalagi yang durhaka. Hanya saja bencana yang menimpa orang yang baik, sedikit dan sangat ringan. Meskipun bencana dan musibah duniawi menyakitkan dan membahayakan, namun demi mencari pahala, maka kaum sholihin bersabar atas pahitnya qodho dan pedihnya bala`, mereka berkata:

baik atau pun buruk perlakuannya
aku pasti ridho kepadanya
dan hatiku pun rela dengan ketentuannya

meski tak pernah kuhirup aroma keridhoanmu
meski tak kunjung henti hari-hari amarahmu

Lain halnya dengan orang yang lalai dan suka bermaksiat, mereka akan mendapat bencana dan malapetaka yang dahsyat. Demikian buruknya perbuatan mereka, sehingga bencana itu juga menimpa orang-orang yang baik di antara mereka. Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, “Dan peliharalah dirimu daripada siksa yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim di antaramu saja.” (QS Al-Anfal, 8:25)

Juga disebutkan bahwa Allah SWT berfirman dalam salah satu kitab yang Ia turunkan, “Karena dosa seorang munafik, sebuah kota terbakar. Lantaran dosa
seorang munafik, dunia terbakar.”

Perbuatan yang paling sering menyebabkan manusia tertimpa berbagai bencana adalah amalan yang muncul dari hati yang penuh kedengkian dan riya,
terutama jika amalan itu dikerjakan oleh seorang ahli zuhud atau ahli ilmu.

Sebab, Allah SWT telah berfirman kepada bani Israil, “Kalian menuntut ilmu untuk selain Allah. Kalian belajar bukan untuk diamalkan. Kalian bersihkan minuman kalian dari kotoran, tapi makanan haram sebesar gunung kalian telan. Kalian memakai pakaian dari bulu domba, tapi menyembunyikan nafsu serigala. Karena itu demi Keagungan-Ku, Aku bersumpah akan menimpakan kepada kalian fitnah yang dapat menyesatkan pemikiran para ahli pikir dan hikmah.”

Untungnya, setiap terjadi bencana Allah Ta’âlâ selalu menyayangi dan melindungi hamba-hamba-Nya:

Demikianlah menjadi kewajiban Kami untuk
menyelamatkan orang-orang yang beriman.
(QS Yunus, 10:103)

Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman. (QS Al-Haj, 22:38)

Diriwayatkan bahwa seorang utusan Allah Azza wa Jalla menemui seorang lelaki saleh Bani Israil yang ditimpa berbagai bencana, “Jangan takut, sesungguhnya Allah bersamamu, Allah berfirman untukmu, ‘Sesungguhnya seorang kekasih tidak akan menelantarkan kecintaannya. Orang yang bertawakal
kepada-Ku tidak akan hina. Dan orang yang meminta kekuatan dari-Ku, tidak akan lemah.”

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putra Riyadi )

Hubungan Wajah Dengan Hati

Ketahuilah, orang yang berhati lembut adalah orang yang wajahnya berseri-seri dan sering tersenyum. Sebab, keadaan hati itu tercermin pada wajah. Perumpamaan wajah dan keadaan hati seperti bayangan sebuah dahan dengan dahan itu sendiri. Bayangan tidak akan berbeda dengan bentuk aslinya. Bahkan ke mana pun dahan itu bergerak, bayangannya akan selalu ikut. Begitulah perumpamaan wajah terhadap hati: semua yang disembunyikan hati akan tampak di wajah.

Orang-orang yang memiliki bashîroh mampu mengetahui isi hati seseorang hanya dengan melihat wajahnya. Ucapan paling mendalam yang pernah kudengar sehubungan dengan ini adalah ucapan Syu’bah bin Hajjaj rhm, “Jika aku melihat punggung seseorang aku pasti mengetahui apa yang terdapat dalam hatinya.”

“Bagaimana jika kamu melihat wajahnya?” tanya seseorang.

“Wajah adalah lembaran yang dapat dibaca. Jika hatinya keras, wajahnya tampak keras dan muram, hampir tidak pernah senyum. Jika hatinya lembut, ia akan bersikap ramah kepada teman-temannya, rindu pada kampung halaman, dan menyesali umur yang telah disia-siakannya. Sebagaimana dikatakan, bahwa jika kamu ingin mengetahui kesetiaan seseorang, maka perhatikanlah bagaimana kerinduannya pada kampung halamannya, kesedihannya ketika mengingat teman-temannya yang telah meninggal dan penyesalannya atas umur yang telah dilewatkannya,” jawabnya.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putra Riyadi )

Langkah Awal Mendekatkan Diri Kepada Allah

Orang yang cerdas dan berpikiran sehat adalah mereka yang mengelola (me-manage) amal-amalnya sehingga semua kegiatan mereka menjadi sempurna.

Langkah awal yang harus diperhatikan oleh seorang hamba dalam ber-suluk adalah menyucikan dan mendidik nafs serta menyempurnakan akhlak. Bagi
seorang sâlik usaha penyucian nafs lebih utama dari pada memperbanyak ibadah sunah, seperti salat sunah, puasa sunah dan sejenisnya. Karena,
seorang hamba tidak layak menghadap Allah SWT dengan hati dan nafs yang kotor. Ia hanya akan melelahkan dirinya, sebab amal yang ia kerjakan
mungkin justru membawanya ke arah kemunduran.

Jika seseorang tidak menangani urusannya secara arif, maka dikhawatirkan ia akan tersesat dan mengalami kemunduran. Karena itu seseorang hendaknya selalu memelihara sir-nya (nurani) dan memanfaatkan waktu yang ia miliki. Jangan sekali-kali ia membiarkan hatinya kosong dari fikr (pemikiran) yang dapat melahirkan ilmu. Dan jangan sampai ia mengerjakan suatu perbuatan tanpa niat yang benar, karena niat adalah ruh amal.

Jika hati seseorang tidak mampu mewadahi fikr (pemikiran) yang dapat melahirkan ilmu dan niat-niat saleh, maka ia seperti hewan liar. Dalam keadaan demikian manusia akan terbiasa menghabiskan waktunya untuk melakukan perbuatan yang sia-sia dan bergaul dengan orang-orang bodoh. Ia akan melakukan berbagai perbuatan buruk dan tercela. Seorang yang berakal hendaknya sadar dan memelihara hatinya.

Ketahuilah, keadaan hati yang paling mulia adalah ketika ia selalu berhubungan dengan Allah SWT. Inilah landasan amal dan sumber perbuatan-perbuatan yang baik. Cara memakmurkan batin adalah dengan selalu
menghubungkan sir (nurani) dengan Allah SWT, sedangkan cara merusaknya adalah dengan selalu melalaikan-Nya. Jika hati seseorang telah memiliki
hubungan yang kuat dengan Allah SWT, ia dengan mudah dapat melakukan berbagai amal dan ketaatan yang bisa mendekatkannya kepada Allah.

Ketahuilah, bahwa hati itu bagaikan cermin, memantulkan bayangan dari semua yang ada di hadapannya. Karena itu manusia harus menjaga hatinya, sebagaimana ia menjaga kedua bola matanya.

Orang yang mengkhususkan diri untuk beribadah kepada Allah hendaknya tidak bergaul dengan orang-orang yang jahat, bodoh dan suka berbuat tercela, sebab perilaku mereka akan mempengaruhi hati dan memadamkan cahaya bashiroh-nya.

Seorang pencari kebenaran hendaknya memperhatikan segala sesuatu yang dapat memperbaiki hatinya. Untuk memperbaiki hati diperlukan beberapa
metode, di antaranya adalah dengan selalu mengolah fikr (pemikiran) untuk membuahkan hikmah dan asror, banyak berdzikir dengan hati dan lisan, dan juga dengan menjaga penampilan lahiriah: pakaian, makanan, ucapan, serta semua perilaku lahiriah yang memberikan pengaruh nyata bagi hati. Seorang
pencari kebenaran tidak sepantasnya mengabaikan hal ikhwal hatinya.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)

Managemen Amal

Wahai saudaraku, susunlah prioritas amalmu. Jangan sampai amalmu cacat karena tidak kamu atur dan letakkan pada tempatnya. Orang-orang yang
memperoleh taufik akan memperbaiki, mengatur dan menyesuaikan amalnya. Hati-hati jangan sampai hawâ menyibukkanmu dengan beberapa amal saja. Atau, membujukmu untuk mengutamakan amal yang tidak utama. Perbuatan ini terjadi karena kurangnya ilmu atau karena pengaruh hawâ pada amal.

Seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah seperti orang yang hendak membangun sebuah rumah. Langkah awal yang harus ia kerjakan adalah
membangun pondasi. Setelah pekerjaan pondasi selesai, barulah rumah tersebut dibangun sesuai urutan dan kelayakan.

Seorang sâlik, pertama kali, harus berusaha mencari nafkah yang halal, atau yang mendekati halal jika yang halal tidak ada. Setelah itu, ia harus
menaruh perhatian dan menunaikan semua kewajiban yang ditetapkan Allah Ta’âlâ kepada hamba-Nya dengan sempurna dan dengan cara yang terbaik.

Hendaknya ia mengutamakan ketakwaan. Ia harus melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah Ta’âlâ di mana pun juga, dan tidak sedikit pun
menyeleweng. Kemudian hendaknya ia memperhatikan amal-amal sunah dan ketaatan lain yang dianjurkan dengan mendahulukan yang lebih utama.

Seorang hamba hendaknya tahu bahwa ketaatan yang paling utama dan paling dekat dengan keridhoan Allah Ta’âlâ adalah perbuatan baik kepada makhluk yang lemah, misalnya: memberi makan kaum fakir miskin, membantu orang yang membutuhkan, menolong orang-orang yang dizalimi, dan menghibur orang-orang yang sengsara hidupnya (munkasirîn). Setelah itu baru mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunah (nawâfil) terutama salat-salat sunah. Dan salat sunah yang paling penting dan mulia adalah salat malam.

Semua waktu di malam hari adalah sangat mulia, terutama satu jam sebelum terbitnya fajar. Sebab, saat itu adalah saat terkabulnya doa. Oleh karena itu, seorang hamba hendaknya memanfaatkan waktu-waktu itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan bersalat, berdoa, membaca Quran, merendahkan diri dan merasa butuh kepada Allah. Seorang hamba hendaknya tidak melewatkan kesempatan itu.

Demikianlah urutan amal yang benar. Seorang hamba harus berhati-hati agar tidak disesatkan oleh hawâ sehingga ia mengutamakan amal yang kurang
utama. Pengelolaan amal merupakan asas pokok yang harus diperhatikan, dan juga merupakan metode orang-orang yang memiliki pemahaman (ahlul fahm) tentang Allah Ta’âlâ. Orang-orang ini menyusun prioritas amal dengan menggunakan akal sehat yang bebas dari pengaruh hawâ. Ikutilah jejak mereka, insyâ Allôh kamu akan memperoleh petunjuk.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)

Memahami Hawa Nafsu

Ketika seorang hamba melihat dengan akalnya tanpa terpengaruh oleh hawa, maka segala sesuatu akan tampak sebagaimana hakikatnya. Namun jarang yang dapat melihat dengan cara demikian, karena hawa terlalu menguasai nafs, dan nafs sangat sulit untuk melepaskan diri dari kekuasaan hawa. Bahkan karena demikian tersembunyi dan sulit dipahami, maka manusia tidak dapat merasakan kehadiran hawa. Hanya orang-orang yang berakal unggul (superior) yang dapat mengetahui keberadaan hawa dalam nafs-nya.

Hawa adalah makanan nafs. Hal ini membuat nafs sangat bergantung dan sulit melepaskan diri dari cengkeraman hawa. Oleh karena itu, jauhilah hawa dan bebaskanlah nafs-mu darinya. Sebab, hawa akan menodai agama dan murûah -mu, sebagaimana dikatakan dalam syair:

Jika kau ikuti hawa,
ia akan menuntunmu
menuju semua perbuatan
yang tercela bagimu.

Jika kamu perhatikan dan beda-bedakan semua peristiwa yang terjadi, maka akan kamu temukan bahwa hawa-lah yang menjadi sumber segala fitnah dan bencana dalam peristiwa-peristiwa itu. Karena, hawa merupakan sumber kebatilan dan kesesatan. Hawa bak minuman memabukkan. Seseorang yang
meneguknya akan dikuasai oleh minuman itu, dan akan hilang akal sehatnya. Oleh karena itu, seorang yang pandai harus menyadari hal ini dan berusaha
mematikan hawa-nya dengan mujâhadah dan mukhôlafah (penentangan).

Hakikat hawa adalah kecenderungan pada sesuatu yang batil. Hawa adalah perilaku dan tabiat nafs. Semua kecenderungan nafs pada kebatilan disebut
hawa.

Hawa terbagi dua:

Pertama, ajakan-ajakan syahwat yang terdapat dalam diri seseorang, misalnya berbagai hal di atas, yang menipu dan menguasai nafs serta diperebutkan oleh manusia. Ajakan-ajakan syahwat tersebut hina dan buruk, karena itulah orang-orang yang memiliki murûah menjauhinya demi menjaga agama, menyucikan murûah, melindungi kehormatan, dan menjaga akal mereka. Orang-orang berakal, jika menghadapi tipu daya hawa dan penentangan nafsu, mereka tetap kokoh, tidak goyah.

Mereka mempertimbangkan akibatnya dengan hati-hati dan tidak gegabah. Lain halnya dengan orang-orang yang akal dan jiwanya lemah, mereka akan dikuasai nafs hingga tak dapat berkutik. Hawa akan menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela. Namun karena hatinya telah buta, hanyut dimabuk hawa, mereka tidak menyadari berbagai keburukan yang telah dilakukannya.

Kedua, hawa yang timbul ketika seseorang marah (ghodhob). Hawa jenis ini merupakan jenis hawa yang paling buruk. Sebab hawa yang timbul ketika
seseorang sedang marah (ghodhob) bersifat memaksa dan sulit diajak kompromi. Hanya kaum ksatria (abthôl), orang-orang yang berakal sehatlah yang mampu mengetahui keberadaan hawa ini.

Jenis hawa yang lain adalah (perasaan) yang timbul ketika seseorang bersikap sombong (kibr) dan congkak. Jenis hawa ini juga buruk, merusak agama dan menghancurkan amal. Namun pengaruh buruknya lebih ringan dibandingkan dengan hawa yang timbul ketika marah. Hawa yang timbul ketika marah menggoncangkan nafs dan menghilangkan akal sehatnya. Nafs menjadi bodoh.

Ketahuilah, marah adalah jenis hawa yang paling berat. Para abdâl pilihan memperoleh kedudukan di sisi Allah karena mereka benar-benar menjauhi semua jenis hawa. Sebab, semua jenis hawa adalah buruk. Para ashâbul Haq Ta’âlâ selalu berpijak pada kebenaran. Sebab, kebenaran adalah lawan kebatilan. Mereka sadar bahwa seberapa besar mereka mendekati hawa, maka sebesar itu pula mereka menjadi jauh dari Allah. Karena itu dalam semua perilakunya — makan, tidur, berbicara, dan lain-lain — mereka hanya melakukannya sebatas kebutuhan (dharûri) saja. Dalam pandangan mereka segala sesuatu yang melebihi batas kebutuhan merupakan bagian dari hawa.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)

Catatan:
Muruah: Usaha seseorang untuk melaksanakan semua hal yang dianggap baik oleh masyarakat dan menjauhi semua hal yang dianggap buruk olehnya, misalnya duduk-duduk di pinggir jalan, dll.

Niat

Ucapan tersusun berdasarkan niat. Ketahuilah, salah satu asas yang dapat menyampaikan seseorang kepada Allah adalah usaha untuk melandasi amal
dengan niat yang sempurna dan hati yang ikhlas, serta melaksanakan ketaatan tanpa melibatkan hal-hal yang dapat merusak amal. Sumber ucapan ini adalah sabda Nabi saw, “Amal itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya untuk setiap orang (akan dibalas) sesuai niatnya.”

Amalan hati adalah niat. Amalan hati ini kemudian melahirkan amalan lahiriah. Amal-amal hati merupakan pokok (ushûl) sedangkan amal-amal lahiriah merupakan cabangnya (furû’). Jika pokoknya sempurna maka cabangnya pun akan kokoh, dan jika niat yang berfungsi sebagai landasan amal diabaikan, maka amal-amal lahiriah (sebagai cabang) akan goyah. Kaidah ini berlaku umum untuk semua amal ukhrawi maupun duniawi. Jika ingin selamat dan lurus urusanmu – remeh maupun penting – maka sempurnakanlah semua tujuanmu (maksudnya). Caranya, pertama-tama pikirkanlah tujuan itu,
kemudian berilah semangat (himmah) sebanding dengan tujuan tersebut.

Setelah itu pasrahkanlah urusanmu kepada Allah SWT. Mohonlah agar Dia berkenan menyempurnakan dan mengaruniakan kesuksesan. Dengan cara demikan amal menjadi suci dan tujuan menjadi benar.

Wahai pembaca, pembahasan ini sangat pelik, karena itu pahamilah dengan baik. Aku harus menjelaskannya kepada saudara-saudara kita para sâlik agar mereka memperoleh petunjuk. Namun, hanya Allah yang dapat memberikan taufik dan pertolongan.

Ketahuilah, niat mempunyai dampak yang sangat menakjubkan terhadap amal. Jika niatnya baik, hasilnya pun baik. Tetapi jika niatnya buruk, akan buruk pula hasilnya. Niat yang baik adalah sumber seluruh kebajikan. Sebab semangat (himmah) yang dicurahkan pada suatu kegiatan, dengan kekuasaan Allah akan menghasilkan pengaruh yang luas. Dan tercapai tidaknya suatu tujuan tergantung pada kuat lemahnya azm (tekad). Oleh karena itu, manusia hendaknya mengerjakan semua kegiatannya dengan semangat tinggi dan penuh perhatian, bukan karena kebiasaan semata. Hendaknya ia mencurahkan pikirannya, memperkuat semangatnya dan bersungguh-sungguh dalam setiap urusannya.

Ada sebuah kalimat hikmah kuno yang cukup indah mengatakan bahwa “Hazm (ketetapan hati/tekad) adalah bersegera dalam memanfaatkan kesempatan yang ada, bersegera dalam melaksanakan niat, dan tidak berlambat-lambat dalam mengejar sesuatu yang dikhawatirkan dapat terlewatkan. Merenungkan sesuatu yang belum tentu terjadi, merupakan sumber kelemahan dan penyebab kekalahan.” Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT berikut, “Hai Yahya, ambillah kitab (taurat) itu dengan kekuatan.
(QS Maryam, 19:12) yakni dengan kekuatan tekad.

Rasulullah saw bersabda, “Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya.” Sebab amal hati tidak terbatas. Seseorang seringkali merasa berat hati
ketika meniatkan suatu kebajikan. Namun, jika berniat melakukan kejahatan, ia dengan mudah dapat mewujudkan niatnya. Salah satu keajaiban rahasia niat adalah keberkahannya yang dapat mempengaruhi berbagai hal yang tidak pernah terlintas dalam pikiran kita. Diriwayatkan bahwa ketika Umar bin Abdul Aziz ra menjabat sebagai kholifah para penggembala domba berkata, “Siapakah hamba yang saleh yang berkuasa saat ini?”

“Bagaimana kalian tahu bahwa penguasa kita adalah seorang yang saleh?” tanya seseorang.

“Jika seorang kholifah yang adil berkuasa, serigala tidak akan memangsa domba.”

Lihatlah, betapa niat yang penuh berkah ini berpengaruh terhadap hewan buas. Demikian pula niat buruk. Niat buruk dapat memberikan pengaruh yang
lebih parah. Jika seseorang menyimpan niat jahat, maka niat itu akan menggerakkannya untuk melakukan kejahatan yang kadang kala akibatnya lebih buruk dari yang diniatkannya.

Berbagai perkara yang pelik ini harus diperhatikan dan dipikirkan, karena tujuan penulisan bab ini adalah agar seseorang dapat mencegah hatinya dari kejahatan. Jangan sampai ia melakukan ketaatan dengan hati lalai: baik dalam bersalat, bertasbih, membaca Quran, bersedekah, menengok orang sakit, melayat jenazah, maupun ibadah lainnya. Seorang bijak rhm berkata, “Barang siapa berdzikir kepada Allah dengan hati yang lalai, Allah akan berpaling darinya.” Ucapan ini berlaku umum.

Kaum khowwâsh selalu menetapkan niat baik dalam semua hal, sampai pada perkara-perkara yang mubah. Sebab, niat baik dapat merubah perbuatan mubah menjadi amalan yang berpahala. Misalnya ketika berpakaian, jika niatnya untuk mematuhi perintah Allah dalam firman-Nya: Pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) mesjid. (QS Al-A’rof, 7:31) Dan mengamalkan sabda Rasulullah saw berikut, “Sesungguhnya Allah itu Maha Cantik, Ia menyukai kecantikan.” Serta untuk mensyukuri dan memuji Allah atas rezeki yang Ia anugerahkan. Maka perbuatan mubah itu menjadi ibadah.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)

Psikologi Ucapan

Ucapan yang keluar dari nafs yang penuh gejolak dan hati yang buruk akan menggerakkan dan membangkitkan keburukan dari lawan bicaranya. Oleh karena itu, pada saat berbicara hendaknya manusia memperhatikan nafs-nya ataupun nafs orang lain agar tercapai kebaikan dan ketenangan. Betapa indah ucapan sayidina Ali kwh ketika menjelaskan rahasia ucapan:

Wadah (lahan) ucapan adalah hati, gudangnya adalah pikiran (fikr), penguatnya adalah akal, pengungkapnya adalah lisan, jasadnya adalah huruf, ruhnya adalah makna, hiasannya adalah i’rob dan aturannya adalah kebenaran. Pengaruh ucapan pada pendengar tergantung pada nafs pembicara. Jika ucapan tersebut muncul dari jiwa yang kuat, maka akan memberikan kesan yang kuat. Dan jika muncul dari jiwa yang lemah, maka akan memberikan kesan yang lemah. Oleh karena itu sebelum berbicara manusia harus memperhatikan keadaan jiwanya agar kalimat yang ia ucapkan muncul dari jiwa yang tenang (sakînah), sehingga ia dapat berbicara kepada temannya dengan lemah lembut, dapat merebut dan menyenangkan hatinya, dan tidak membuatnya marah.

Allah SWT berfirman:

“Serulah (manusia) kepada êalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS An-Nahl, 16:125)

“Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushshilat, 41:43)

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang
yang mempunyai keberuntungan yang besar.”
(QS Fushshilat, 41:35)

Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang memiliki sifat-sifat mulia akan memperoleh karunia yang sangat besar dari Allah. Pahamilah persoalan ini
dan berusahalah untuk berperilaku dengan sifat-sifat mulia tersebut, yakni dengan akhlak kaum khowwâsh (khusus).

Wahai saudaraku, perhatikanlah akhlak-akhlak yang mulia ini dan berlombalah untuk meraihnya. Pergaulilah manusia dengan sopan santun. Hindarilah gejolak nafs, karena bila nafs bergejolak, ia akan kembali pada
tabiatnya, yaitu cenderung untuk melakukan perbuatan buruk dan menampakkan aib. Sedangkan jika nafs telah rela dan senang, maka ia akan merasa lapang dan siap untuk melakukan berbagai perbuatan baik.

Jauhilah pertentangan dan pertengkaran dengan segenap tenagamu, baik secara lahir maupun batin. Jika kamu tidak mampu menghindarinya secara
batiniah, maka hindarilah secara lahiriah. Perlakukanlah temanmu dengan baik, sebab pertentangan merupakan sumber keburukan dan bencana, sebagaimana dikatakan: Pertentangan membangkitkan permusuhan dan permusuhan mendatangkan bencana.

Oleh karena itu wahai saudaraku, berusahalah untuk hidup rukun dan tenangkanlah nafs-mu, karena jika antara hati yang satu dan yang lain telah
saling bersesuaian, maka manusia akan mudah mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan keberkahan pun akan turun. Ali kwh berkata: Biasakanlah dirimu untuk berniat dan bertujuan baik, niscaya kamu akan sukses.

Betapa banyak niat lebih bermanfaat daripada amal. Pahamilah hal ini!

Perbaikilah akhlakmu, niscaya kamu akan mendapat petunjuk dalam setiap urusanmu. Ilmu diperoleh dengan belajar sedangkan hilm (sabar, santun) diperoleh dengan latihan.

Dikatakan dalam sebuah syair:

Sebelum jadi penyantun
ia dipukul dengan tongkat dahulu
Seseorang dididik
tak lain agar berilmu

Manusia harus menjaga ucapannya, jangan sampai ia mengucapkan kata-kata buruk atau menceritakan pembicaraan yang buruk kepada seseorang, karena kelak ia akan terkena aibnya dan akan mendapat dosa paling banyak. Seorang penyair berkata:

Tak akan berkata jorok, si orang mulia,
Tak akan pula menghapal ucapan tercela
Ia curahkan semua tenaga,
Dan bila bicara indah dan benar ucapannya

Seorang manusia hendaknya tidak berbicara ketika berada dalam keadaan emosional atau marah. Sebab, saat itu nafs-nya sedang bergolak dan berkobar sehingga ia mudah tergelincir dalam kesalahan. Oleh karena itu, hendaknya ia bersabar hingga nafs tenang.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)

Sedekah

Salah satu rahasia yang telah dicoba oleh kaum arifin untuk menghadapi datangnya bencana, berbagai peristiwa menakutkan dan penyakit adalah dengan memperbanyak sedekah kepada kaum dhu’afaa`.

Begitu pula ketika mereka jatuh ke tangan orang-orang yang zalim. Namun sebelum mengeluarkan sedekah, mereka mempertimbangkannya lebih dahulu. Setiap sedekah yang mereka keluarkan disesuaikan dengan besar kecilnya bencana yang terjadi.

Amal yang mereka kerjakan untuk persoalan ringan tidak sama dengan amal yang mereka kerjakan untuk mengatasi persoalan yang berat. Untuk suatu tujuan yang besar, mereka mencurahkan sesuatu yang besar pula. Seseorang yang mengetahui rahasia-rahasia ini berarti telah memperoleh salah satu dari ilmu-ilmu kaum khusus.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar